Rabu 08 Mar 2017 10:00 WIB

Bolivia Dukung Perjuangan Palestina

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Palestina
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun 2008, Presiden Bolivia Evo Morales mengusir Duta Besar AS, Phillip Goldberg, dengan tuduhan terlibat upaya kudeta. Perseteruan lantas terkait dengan kelompok oposisi sayap kanan, nasionalisasi eksploitasi gas alam, dan kemunduran dalam upaya pemberantasan narkotika.

Sebaliknya, dalam beberapa tahun terakhir, Bolivia lebih dekat dengan Iran, negara yang selama ini dianggap sebagai musuh AS. Faktor ini lantas membuat sebagian kalangan dan pihak asing resah.

Dalam sebuah pemberitaan bulan Juni tahun lalu, Fox News membahas masalah ini panjang lebar. Judul beritanya cukup provokatif, Bolivia Becoming a Hotbed of Islamic Extremism.

Nora Zimmer, sang reporter, mengutip laporan dari sumber intelijen AS. Pada intinya, pejabat keamanan AS menganggap telah muncul potensi 'ancaman terorisme' yang berasal dari sikap "anti-Amerika" dari Bolivia.

''Negara-negara kiri di Amerika Latin, dalam beberapa tahun terakhir, menjadi lebih mudah menerima retorika anti-Amerika yang biasa dilontarkan Iran,'' sebut laporan dalam situs foxnews.

Selain negara adidaya itu, pihak lain yang juga merasa khawatir dengan eratnya hubungan Bolivia dan Iran, adalah Israel. Ada alasan khusus mengapa negara Zionis ini, meski letaknya jauh, resah dengan perkembangan yang berlangsung di negara tersebut.

Berawal ketika pada Mei tahun lalu, Israel menuding Bolivia menyuplai bahan baku uranium bagi program nuklir Iran. Namun, Pemerintah Bolivia segera membantahnya.

Seperti ditegaskan Menteri Pertambangan Bolivia, Luis Alberto Echazu, selama ini tidak pernah ada kegiatan penambangan uranium di negaranya. Sedangkan pejabat tinggi lainnya, Ramon Quintana, mengecam tudingan Irsael tersebut dan menyebutnya sebagai akibat dari keteledoran intelijen Israel.

Morales kemudian mengusir pejabat konsulat Israel. Dia juga menyerukan agar pemerintahan Israel diadili atas tindakan di Palestina. Tak lama kemudian, Bolivia memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

Sikap tersebut didukung Iran. Segera pula, hubungan kedua negara bertambah erat. Iran menanamkan investasi di berbagai bidang, mulai dari pertambangan, pertanian, dan kesehatan. Kedua negara juga sepakat membuka kantor kedutaan besar.

Pihak asing khawatir melihat situasi ini. Mereka meyakini hubungan dengan Iran bisa menumbuhkan benih-benih radikalisme, ektremisme, dan kebencian terhadap Barat di Bolivia, bahkan kawasan Amerika Latin.

Masalah ini akhirnya dikaitkan dengan geliat dakwah Islam. Pemerintah Bolivia mengizinkan masuknya para dai dari beberapa negara Muslim, termasuk Iran, untuk menyebarkan syiar Islam kepada warga asli Bolivia.

Hanya saja, muncul keresahan bahwa aktivitas dakwah tidak sekadar di wilayah negara Bolivia, melainkan meluas ke kawasan perbatasan dengan Kolombia dan Venezuela. Inilah sumber keprihatinan pihak asing ketika melihat luasnya pengaruh Islam di kawasan sehingga patut diwaspadai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement