Ahad 05 Feb 2017 12:31 WIB

Mengulang Sejarah, Ulama Indonesia Mengajar Agama di Mesir

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nasih Nasrullah
Masjid Al Azhar, Kairo, Mesir
Foto: memphistours
Masjid Al Azhar, Kairo, Mesir

Mesir, termasuk salah satu destinasi favorit pelajar Indonesia belajar ilmu agama sejak abad ke-18. Setiap tahun rata-rata puluhan ribu mahasiswa Indonesia melanjutkan studi ke Timur Tengah.

Kawasan metropolisis itu masih merupakan salah satu pusat jaringan intelektual Islam terkemuka. Seakan melanjutkan signifikansi para pengajar asal Nusantara, sejumlah kegiatan di Mesir belakangan ini dapat menjadi perhatian. 

Menurut Dr Aunul Abid, pengajian talaqqi atau pengajian informal kitab kuning secara umum mulai marak kembali di Mesir sejak Grand Syekh  al-Azhar Prof Ahmad El Thayyeb ditahbiskan pada 2010. 

“Meskipun sebelumnya sudah ada (pengajian talaqqi) di beberapa tempat, misalnya di Masjid al-Azhar dan sekitarnya, tetapi itu belum masif dan resmi,” tulis tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Istimewa Mesir itu kepada Republika, Selasa (31/1) melalui pesan whatsapp.

 

Sebelum 2010, lanjut Aunul, hanya ada pengajian informal di beberapa zawiyah yang berafiliasi kepada beberapa tarekat. Misalnya, Tarekat Naqsyabandiyah di Shoubra; Tarekat Shiddiqiyah Syadziliyah di Muqattam; Tarekat Tijaniyah di Mugharbilin, atau Tarekat Khalwatiyah di Midhyafah Syekh  Shadiq el Adawy. 

“Semuanya di Kairo. Ada juga di luar Kairo. Misalnya, di Sahah, ada Tarekat Khalwatiyah Hasyimiyah; di Bani Amier Zaqaziq ada Tarekat Naqsyabandiyah Judiyah; kemudian di Thanta dan Tarekat Kattaniyah di Alexandria,” papar dia.

Beberapa pengajian kitab juga berafiliasi kepada aliran-aliran salafisme, umpamanya, di Kafr Sheikh, Bany Suweyf, dan Alexandria. Namun, Aunul menegaskan, dinamika politik Mesir juga memengaruhi geliat intelektual di sana.

Setelah peristiwa Revolusi, yang berpusat di Tahrir Square pada 25 Januari lalu silam, pihak Universitas al-Azhar memandang bahwa sangat penting untuk menghidupkan kembali pengajian kitab kuning di berbagai tempat di Mesir. 

Sebab, lanjut Aunul, pihak kampus menyadari semakin kuatnya gejala keterasingan orang Mesir terhadap tradisi agamanya sendiri. Apalagi, hegemoni Barat di masa globalisasi kian menjalar, khususnya melalui maraknya media sosial atau internet. 

“Oleh karena itu, Grand Syekh  al-Azhar menggerakkan para profesor dan ulama besar al-Azhar untuk ‘turun gunung’, mengajar masyarakat, dengan berpusat di Masjid al-Azhar.” 

Grand Syekh  al-Azhar kemudian menjadi patron bagi sejumlah gerakan edukatif yang dimotori kalangan pemuda al-Azhar bersama Grand Mufti Mesir saat itu, Prof Aly Jum'ah. Maka, pengajian kitab kuning kembali digiatkan di masjid-masjid seantero Mesir. 

Hal ini juga dalam rangka kaderisasi ulama muda sehingga mereka terbekali secara mendalam, baik itu ilmu-ilmu keislaman dasar, menengah, maupun tingkat tinggi. Dengan kesiapan yang matang, generasi penerus ulama ini bisa mengajarkan ilmunya dengan mumpuni di tengah masyarakat. 

Sejumlah kota besar di Mesir memiliki pusat koordinasinya. Misalnya, di Kairo ada lembaga ar-Ruwaq al-Azhary (harfiah: Koridor al-Azhar) yang dipimpin Syekh  Dr Muhammad Dhiaa al-Kurdi. Di Alexandria, program kaderisasi ulama diasuh oleh Syekh  Dr Musthafa Alaa Naemah dan Syekh  Dr Yahya al-Kattany. Di Aswan, gerakan edukasi ini dipimpin (almarhum) Syekh  Dr Mohammad Soltan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement