Jumat 21 Jun 2019 16:20 WIB

Kecintaan Masyarakat Betawi Terhadap Ulama

Masyarakat Betawi amat menghormati kaum ulama.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Hasanul Rizqa
Mushaf Qur'an Betawi. Warga melihat pameran lukisan Mushaf Qur'an Betawi pada kegiatan Hajatan Betawi di Universitas Islam As-Syafi'iyah, Pondok Gede, Bekasi, Jawa barat, Sabtu (11/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mushaf Qur'an Betawi. Warga melihat pameran lukisan Mushaf Qur'an Betawi pada kegiatan Hajatan Betawi di Universitas Islam As-Syafi'iyah, Pondok Gede, Bekasi, Jawa barat, Sabtu (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum ulama Betawi pun hidup menyebar. Di setiap pojok Jakarta, selalu ada guru-guru yang biasa dijadikan panutan dalam belajar agama.

Saat berbincang dengan Republika, ulama berdarah Betawi KH Ahmad Luthfi Fathullah menyebut, di daerah Jakarta selatan ada Guru Mughni dan Guru Mahali; di wilayah Jakarta timur ada Guru Marzuki.

Baca Juga

Sementara, di Jakarta barat ada Guru Mansur dan Guru Madjid. Kepada mereka, orang Betawi yang tinggal di sekitarnya belajar agama dan mengaji, lalu melahirkan kiai dan ustaz.

Ia pun menyebut, masing-masing guru memiliki keistimewaan dan ilmu tersendiri. Ada peran habib di dalamnya. Salah satunya, Habib Utsman bin Yahya yang karangannya banyak digunakan oleh para ulama Betawi. Habib Utsman merupakan mufti Betawi zaman Belanda yang menulis lebih dari 100 kitab.

Begitu pula, para guru lainnya. Meski mesin cetak sangat terbatas, mereka masih mampu untuk berkarya. Guru Mughni disebut memiliki dua karya yang dicetak sendiri lewat kitab Taudhihul Adillah, yakni buku terjemahan As Syamail Al-Muham madiyah dan kitab Adab Hamalatil Quran yang isinya tentang etika berinteraksi dengan Alquran.

Selain itu, Syekh Salim bin Sumair dengan kitab Safinatun Naja. Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Darry kitabnya berjudul Misbahuz Zhulam. Sementara, Guru Manshur Jembatan Lima menulis kitab berjudul Sullamun Nayrain tentang ilmu falak.

"Kalau kita lihat, dengan luasnya kawasan Ibu Kota, arus urbanisasinya kencang sekali. Pertempuran ekonomi dan sosial sangat kuat. Lalu, kenapa suasana agamanya terasa sangat kental? Ini karena orangnya yang berprinsip agamanya yang kuat. Mereka rela berkorban dengan agama. Di Jakarta banyak masjid, salah satunya karena wakaf orang Betawi," ujarnya.

Pimpinan Ma'had Aly Zawiyah Jakarta, Ustazah Badrah Uyuni pun menyebut antara Betawi dan Islam adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Setiap yang tahu Betawi pasti tahu Islam. Betawi yang tidak memiliki kerajaan membuat Islam masuk dengan mudah lewat pesisirnya.

"Pengalaman saya sendiri, kalau yang komunitasnya Betawi dan ada ulama atau habaibnya, biasanya Islamnya kental. Tapi, Betawi pinggiran yang tidak tersentuh Islam, saya lihat agamanya tidak terlalu kuat. Saya juga enggak paham kenapa bisa begitu. Betawi abangan ini ada, tapi jumlahnya paling tidak lebih dari 10 persen," ujar Ustaz Badrah.

Untuk masalah pengajian, ia menyebut, saat ini banyak dilakukan di daerah pinggiran. Wilayah kota masih ada pengajian, tapi terjadi pergeseran budaya. Di wilayah pusat kota, sudah sedikit yang menamakan diri mereka sebagai orang Betawi, kebanyakan menyebut sebagai orang Jakarta.

Ustazah Badrah juga masih mengingat pesan yang disampaikan almarhum ayahandanya, Abuya KH Saifuddin Amsir. Sang ayah pernah menyatakan jika Jakarta ini paket komplet di mana semua hal ada, termasuk dari sisi manusianya. Ada manusia yang rajin ibadah, ada pula yang rajin maksiat.

"Beliau (KH Saifuddin Amsir) bilang, kalau Allah mau ngasih bencana besar ke Jakarta itu gampang karena banyak maksiatnya. Tapi ini tidak benar-benar terjadi karena yang namanya shalawat di setiap kampung pasti ada," lanjut dia.

Di lingkungan yang mayoritas Betawi, dia menyebut masyarakatnya juga akan saling mengajak tetangganya untuk ikut ke pengajian-pengajian. Apalagi, jika tetangganya adalah pendatang. Hanya, dia mengaku, orang Betawi punya kebiasaan kalau belajar maunya gurunya yang dari Betawi karena merasa lebih relevan.

Di kampus Ma'had Aly Zawiyah Jakarta, ia pun menyebut berusaha melestarikan keberadaan dan karyakarya dari ulama Betawi. Kampus juga mencoba untuk membaca dan mengkhatamkan karangan ulama Betawi dan Nusantara. Salah satunya, karangan Habib Utsman bin Yahya.

"Kalau kemudian ternyata masih belum cukup meng-cover mata kuliah, kita ambilkan dari karya-karya ulama Nusantara, baru ke ulama Timur Tengah. Karangan ulama Betawi ini tipis-tipis jadi gampang dihafalnya," lanjutnya.

Kampus Zawiyah disebut mencoba untuk membangun budaya menggunakan karya ulama Betawi dan nusantara. Hal ini dilakukan agar mahasiswanya juga mengenal dengan ulama asal Indonesia.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement