Kamis 20 Jun 2019 12:54 WIB

Ihwal Suksesi Kepemimpinan

Islam mengajarkan beberapa hal penting seputar suksesi kepemimpinan

Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alfan Gunawan Ahmad     

"Barang siapa mengangkat seorang laki-laki (untuk suatu jabatan) berdasarkan sikap pilih kasih, padahal ada di kalangan mereka orang yang lebih diridhai Allah darinya, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah SWT, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman" (HR Al-Hakam, Suyuthi mensahihkannya).

Baca Juga

Suksesi kepemimpinan adalah suatu proses peralihan dari suatu generasi ke generasi yang lain, selanjutnya untuk memimpin sekelompok orang dalam satu wilayah atau lokal tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Suksesi bukanlah perkara yang mudah dan sederhana. Itulah yang dirasakan para sahabat sepeninggal Rasulullah saw. Sejarah telah mencatat betapa mereka sangat hati-hati memilih pengganti Nabi.

Kepemimpinan adalah amanah. Oleh karena itu, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya ..." (Mutafaq 'alaih).

Dan, amanah adalah salah satu ciri Mukmin (orang yang beriman) (QS Al Mukminuun (23) ayat 8). Berdasarkan hal itu kepemimpinan dalam Islam lebih ditempatkan dalam konteks tanggung jawab. Islam mengajarkan beberapa hal penting di seputar suksesi kepemimpinan.

Pertama, seorang Muslim harus menjauhi sikap pilih kasih dan kecenderungan primordialisme yang sempit ketika mengajukan calon pemimpinnya. Rasulullah saw mengingatkan tentang hal ini seperti dalam hadis di atas.

Kedua, kita dilarang memberikan jabatan tertentu kepada orang yang memintanya dengan ambisius.

Jabatan atau tugas kepemimpinan hanya berhak diberikan kepada orang yang ikhlas yang mau menerimanya karena ia dipercaya untuk mengemban amanah kepemimpinan itu.

Ketiga, calon seorang pemimpin yang baik dan ikhlas dapat dinilai dari keberpihakannya kepada rakyat banyak. Ia, dalam menjalankan kepemimpinannya, selalu memprioritaskan umat daripada kepentingan pribadi, keluarga, segelintir atau sekelompok orang.

Suatu malam Khalifah Umar bin Khattab keliling kota tanpa pengawal. Ia terkejut ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah. ''Anak saya menangis karena lapar,'' kata sang ibu. Dilihatnya sang ibu tengah memasak batu untuk ''menenangkan'' tangis anaknya.

Seketika Umar kembali ke istana. Ia pun kembali ke ibu itu dengan memanggul sekarung gandum. Seorang sahabat keheranan melihat Umar, sang kepala negara, memanggul sendiri gandum itu. Ia akhirnya mencoba membantu Umar. Umar menolaknya.

''Apakah engkau sanggup memikul pula dosa-dosaku di akhirat nanti?'' tanya Umar.

Akhirnya, patut kita renungkan pidato Abu Bakar ra pada saat pelantikannya sebagai khalifah (kepala negara):

 

"Orang yang lemah di antaramu menjadi kuat di sisiku sehingga aku memberikan hak-haknya kepadanya. Dan, orang-orang yang kuat di antaramu menjadi lemah di sisiku sehingga aku mengambil darinya barang-barang yang bukan haknya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan jika aku tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku."

Wallaahu a'laam bish shawaab.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement