Jumat 24 May 2019 23:16 WIB

Menghindari Mubazir

Islam menutup rapat pintu yang mengarah pada mubazir

Ilustrasi Mubazir Jajan Banyak Ramadhan
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ilustrasi Mubazir Jajan Banyak Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nasiruddin     

"Sesungguhnya (pelaku) mubazir itu menjadi kawan syaitan" (QS 17: 27) Mubazir adalah perilaku boros, terbuang-buang, berlebihan, kesia-siaan dan semuanya itu bermakna ketidakbergunaan.

Baca Juga

Tentu saja, konsep mubazir ini bertentangan dengan maksud penciptaan segala sesuatu oleh Sang Maha Pencipta. Allah SWT telah menciptakan segalanya tanpa sedikit pun ada muatan kesia-siaan ataupun ketercelaan (QS 67: 3). Oleh karena itu, meniadakan perilaku mubazir dengan membuat kebergunaan atau kemanfaatan segala sesuatu merupakan langkah yang benar dan bernilai positif, menciptakan kerahmatannya.

Pernah suatu ketika seorang kiai memerintahkan santri-santrinya untuk meng-'Islam'-kan batu kali. Caranya, dengan mengangkuti batu-batu dari sungai ke pondok pesantren mereka untuk keperluan memperbaiki bangunan masjid. Kiai tadi lantas menegaskan bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan batu serta seisi alam semesta ini untuk kepentingan manusia dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Jika kita manfaatkan batu berserakan di sungai itu untuk kepentingan kita membangun sarana ibadah, maka berarti kita telah menaikkan derajat kemanfaatan batu itu. Dengan kata lain, kita telah meng-'Islam'-kannya.

Contoh ini boleh jadi terlalu mudah dipahami karena berkaitan langsung dengan masjid, fasilitas ibadah khusus (mahdah).

Namun, sebenarnya keseluruhan hajat hidup manusia bisa dicakup oleh filosofi peningkatan derajat kemanfaatan segala hal, asalkan arahnya untuk pengabdian manusia kepada Allah. Taruhlah, batu-batu mubazir tadi dipakai untuk memperbaiki jalan atau fasilitas umum, bahkan untuk kepentingan pribadi dengan cara dijual sebagai mata pencaharian. Semuanya bisa dibenarkan asal tidak melanggar kepentingan umum di lingkungan.

Islam menutup rapat-rapat pintu yang mengarah kepada mubazirnya segala sesuatu dengan cara membukakan pintu-pintu kemanfaatannya. Kemanfaatan sesuatu tentu berhubungan dengan peran dan fungsinya bagi pihak yang lain. Semakin berperan dan berfungsinya sesuatu berarti semakin bisa membawa nilai kerahmatan dan ujung-ujungnya adalah nilai keislamannya. Sebaliknya, yang kurang bermanfaat akan kurang berperan, kurang membawa rahmat, dan tentu kurang nilai keislamannya.

Sampailah kemudian pada kita, diri kita, jabatan kita, pemilikan kita, kekuasaan kita. Sudahkah semuanya itu kita lihat dengan kacamata manfaat-mubazirnya? Usaha kita, anak buah kita, kekayaan kita, potensi kita, lingkungan kita, dan keberadaan kita, benar-benarkah membawa nilai kerahmatan bagi yang lain? Bukankah penguasaan kita itu kelak dimintai tanggung jawab seberapa ikhtiar kita untuk mengislamkannya? Wallahu a'lam bis shawab.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement