Senin 29 Apr 2019 21:27 WIB

Allah Menyuruh Kita untuk Bersyukur

Manusia diperintahkan untuk bersyukur, bukan kufur nikmat

Perbanyaklah bersyukur kepada Allah (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Perbanyaklah bersyukur kepada Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  A llyas Ismail  

Dikisahkan, pada suatu hari Rasulullah SAW pergi keluar rumah. Di tengah jalan, beliau bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. “Mengapa kalian keluar rumah,” tanya Nabi. Jawab mereka, “Tak ada yang membuat kami keluar rumah selain rasa lapar.”

Baca Juga

Rasulullah SAW sendiri pergi keluar rumah juga karena lapar. Lalu, beliau mengajak dua sahabatnya itu datang ke rumah seorang sahabat bernama Abu Ayyub al-Anshari. Sang tuan rumah, bergembira oleh kedatangan tamu-tamu yang sangat dihormatinya itu. Abu Ayyub menyuguhkan roti, daging, kurma basah dan kering (tamar).

Setelah mereka menyantap suguhan itu, Nabi SAW berkata, “Kenikmatan ini akan ditanya oleh Allah kelak di hari Kiamat.” (HR Muslim, Thabrani, dan Baihaqi).

Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang kewajiban bersyukur atas berbagai kenikmatan yang diberikan Allah SWT. Dengan syukur dan mengingat Allah Sang Maha Pemberi nikmat, kegiatan yang tampaknya sepele, seperti makan dan minum, dapat bernilai ibadah dan menjadi bagian dari bentuk kepatuhan kepada Allah SWT (min alwan al-tha’ah).

Pernyataan Nabi SAW dalam kisah ini bisa dipahami sebagai ekspresi keprihatinan beliau atas kenyataan, manusia umumnya kurang bersyukur. Justru, banyak manusia yang kufur nikmat.

Kalau kenikmatan yang kelihatannya kecil-kecilan saja, seperti makan dan minum, wajib disyukuri, bagaimana dengan kenikmatan yang besar-besar seperti nikmat iman, kesehatan, dan kekayaan (yang berlimpah)?

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu siarkan.” (QS al-Dhuha [93]: 11).

Menurut pakar tafsir al-Ishfahani, syukur bermakna mengerti dan menyadari nikmat, lalu menampakkannya melalui zakat, infak, dan sedekah.

Syukur juga berarti menggunakan nikmat sesuai maksud dan tujuan diberikannya nikmat itu. Maka, misalnya, pemberian fasilitas negara untuk pelaksanaan tugas tak boleh diselewengkan untuk keperluan pribadi dan golongan. Ini bentuk kekufuran.

Syukur juga bermakna mengembangkan nikmat (potensi baik) agar tumbuh dan berkembang lebih produktif. Maka, sikap pembiaran terhadap kekayaan alam dan budaya kita yang melimpah sebagai anugerah Allah, merupakan bentuk kekufuran yang lain lagi.

Kita semua disuruh bersyukur, bukan kufur. Namun, pada kenyataannya, tak semua orang pandai bersyukur. Menurut Imam Ghazali, agar menjadi manusia yang penuh syukur, kita harus sadar bahwa semua anugerah dan nikmat yang kita miliki sejatinya datang dan berasal dari Allah.

Konglomerat seperti Qarun menjadi kufur karena merasa semua kekayaannya yang sangat besar itu diperoleh karena kehebatannya sendiri. Ketika ditanya tentang kekayaannya, Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (QS al-Qashash [28]: 78).

Berlainan dengan Qarun, Nabi Sulaiman AS, dengan kuasa dan kekayaan yang jauh lebih besar, justru menyandarkan semua kuasa dan kekayaannya itu kepada Allah SWT semata. “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (kufur) akan nikmat-Nya.” (QS al-Naml [27]: 40). Maka, bersyukurlah, bukan kufur. Wallahu a`lam.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement