Selasa 23 Apr 2019 17:17 WIB

Tugas Umat Islam Mengenalkan Karya Al-Amidi

Namun, para sejarawan Muslim umumnya kekurangan referensi pencapaian al-amidi.

Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kesadaran untuk menghidupkan kembali sejarah hidup dan kontribusi al-Amidi mulai muncul di Arab Saudi pada 1975 dan di Mesir pada 1961. Namun, para sejarawan Muslim umumnya kekurangan referensi atas pencapaian al-Amidi dalam mengembangkan tulisan bagi tunanetra karena alasan konflik domestik.

Sistem alfabet yang dikembangkan al-Amidi untuk kaum tunanetra serta tulisan tentang sejarah hidupnya musnah dalam huru-hara yang melanda wilayah Irak. Saat itu, al-Amidi memang menetap di sana.

Baca Juga

Pada 9 Juli 1401, Kota Baghdad dan wilayah Irak lainnya dihancurkan oleh pasukan Timur Lenk, penguasa Dinasti Timurid yang berpusat di Asia Tengah. Selain menghancurkan bangunan serta gedung-gedung penting, invansi Timur Lenk yang masih keturunan Hulagu Khan itu juga menimbulkan korban jiwa belasan ribu jiwa.

Serangan Timur Lenk ke Baghdad merupakan invasi kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Sebelumnya, pada 1258 M, Baghdad diluluhlantakkan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan. Bait al-Hikmah yang menyimpan jutaan judul buku dibakar. Bahkan, sungai-sungai pun berubah warnanya menjadi hitam akibat tinta yang meleleh dari buku yang dibuang ke sungai.

Peradaban Islam modern tentunya memiliki tugas penting untuk melacak jejak karya dan sejarah hidup al-Amidi. Tak tertutup kemungkinan, risalah tentang sejarah al-Amidi dibawa kabur pasukan Eropa ketika menjajah negara-negara Muslim di Timur Tengah. Bisa jadi pula, berkat karya al-Amidilah Braille terinspirasi untuk menciptakan tulisan bagi tunanetra.

Al-Amidi mengembangkan huruf baca tunanetra berdasarkan teori temuannya, yakni sel yang peka terhadap rangsangan pada jari, yang dapat dirasakan oleh orang yang kehilangan penglihatannya. Al-Amidi melakukan uji coba pertamanya di Universitas Muntarsiah di Irak dengan meraba buku-buku yang ada.

Di kampusnya, al-Amidi mengajarkan kemampuannya dalam yurisprudensi dan bahasa asing. Ratusan tahun setelah al-Amidi menemukan sistem baca untuk para penyandang tunanetra, sejumlah orang di dunia mulai mengembangkannya.

Pada 1517, misalnya, Fransisco Lucas dari Saragosa membuat surat berhuruf ukir dari lempengan kayu yang tipis. Karyanya ini dibawa ke Roma, Italia, lalu dikembangkan oleh Rampansetto menggunakan blok kayu yang lebih besar. Karya Lucas serta Rampansetto tidak bisa diterima oleh publik karena terlau sulit dibaca.

Pada 1547, seorang dokter dari Italia, Gralamo Cardano, mengusulkan cara membaca yang tidak melihat objek baca. Lalu, pada 1640, Pierre Marean, seorang notaris asal Prancis, menawarkan metode petunjuk yang dapat dipindahkan. Namun, caranya ini tak pernah terpakai karena tidak ada alat yang dapat merealisasikan metode tersebut.

Sejumlah temuan berikutnya mulai dipakai di sekolah-sekolah. Salah satunya sistem yang ditemukan oleh Valentino Havy, seorang warga dari Prancis pada 1784. Havy membuat sistem baca untuk tunanetra dan dapat diajarkan secara mudah di sekolah di Paris. Bertahun-tahun anak-anak sekolah tunanetra belajar dengan sistem baca dari kertas cetak relief ukuran folio yang besar.

Namun, sistem ini dirasakan sangan lambat dan menyusahkan. Akhirnya, pada 1786, Havy menerbitkan sistem temuannya,  Essai sur I'Education D'Aveugles, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Thomas Blacklock, seorang penyair buta asal Skotlandia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement