Jumat 12 Apr 2019 23:34 WIB

Mengenal Tingkatan Puasa Menurut Imam Ghazali

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan tentang puasa.

Zikir dan munajat kepada Allah (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Zikir dan munajat kepada Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Maryanto

Menurut Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya' Ulumiddin, tingkatan puasa diklasifikasi menjadi tiga, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.

Baca Juga

Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan jima'. Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah.

Puasa level ketiga tadi adalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin. Sedangkan puasa level kedua adalah puasanya orang-orang salih - puasa tingkat ini yang seharusnya kita tuju untuk mencapainya. Selanjutnya imam Al Ghazali menjelaskan enam hal untuk mencapai kesempurnaan puasa tingkatan kedua itu.

Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan padanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya. Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran.

''Dua perkara merusakkan puasa,'' sabda Rasulullah SAW, ''yaitu mengumpat dan berbohong.'' Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah SAW menjelaskan: Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa. Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari berbuat maksiat dan mungkar, mencegah perut dari memakan yang syubhat dan haram.

Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana dia berusaha mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, jika saat berbuka dia justru memanjakan nafsunya dengan makanan yang tak terhitung banyak dan jenisnya.

Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas (khauf) dan harap (raja'), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilakukan, sedangkan penuh harap berperan dalam menumbuhkan optimisme.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement