Ahad 17 Mar 2019 04:04 WIB

Meminta Jabatan

Jabatan kerap kali menggoda manusia untuk mendapatkannya dengan cara apa pun

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Kurnianto

Jabatan kerap kali menggoda manusia untuk mendapatkannya dengan cara apa pun, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Nabi SAW pernah berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta jabatan (dalam pemerintahan). Jika engkau diberi jabatan tanpa meminta, engkau akan dibantu Allah untuk melaksanakannya. Namun, jika jabatan itu engkau dapatkan karena engkau memintanya, maka engkau sendiri yang akan memikul beban pelaksanaannya (tanpa dibantu Allah)." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW mengingatkan siapa pun untuk tidak meminta jabatan jika tidak memiliki keahlian atau kompetensi di bidangnya. Apalagi, orang yang rupanya meminta jabatan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri, seperti mengeruk keuntungan dan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, dengan mengabaikan kepentingan umum. Seperti dikatakan dalam hadis tadi, orang yang meminta jabatan tanpa keahlian dan kompetensi tidak akan dibantu oleh Allah dalam menjalani tanggung jawab jabatannya.

Dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang meminta jabatan karena keahlian dan kompetensinya, lalu melaksanakan tugasnya dengan baik, ia akan mendapatkan surga di akhirat. Nabi bersabda, "Barang siapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barang siapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka." (HR Abu Dawud).

Adapun orang yang diberi jabatan tanpa meminta, akan dibantu oleh Allah. Ia diberi atau mendapatkan jabatan semata karena kepercayaan akan keahlian dan kompetensinya, bukan karena kedekatan (nepotisme). Ia dipilih karena prestasi dan rekam jejaknya yang baik. Dengan kata lain, ia adalah orang berkualitas yang diakui dan diketahui banyak orang. Orang-orang semacam ini akan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi banyak orang, bukan menciptakan kerusakan dan kekacauan yang berujung kepada masalah hukum.

Nabi Yusuf adalah contoh terbaik untuk hal ini. Raja Mesir kala itu mengangkatnya sebagai pejabat tinggi di kerajaannya, karena ia percaya akan keahlian dan kompetensi Yusuf. Setelah mendapat kepercayaan itu, Yusuf pun meminta jabatan bendahara kerajaan, karena ia bisa menjaga kas kerajaan dan memiliki pengetahuan tentang manajemen keuangan. Allah pun membantu Yusuf dalam menjalani jabatannya, dan terbukti, beliau sukses membawa Kerajaan Mesir dan masyarakatnya melewati krisis ekonomi, karena musim kemarau yang begitu panjang kala itu.

Allah SWT menyebutkan kisah Yusuf itu dalam Alquran, "Dan raja berkata, 'Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.' Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, 'Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.' Dia (Yusuf) berkata, 'Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.' Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik." (QS Yusuf [12]: 54-56).

Jabatan adalah sesuatu yang berat, karena itu perlu dipikul oleh orang-orang yang ahli dan berkompeten di bidangnya. Bukan oleh orang yang sekadar mengejar jabatan hanya demi memperkaya diri sendiri ketika jabatan itu sudah didapatkan. Jabatan mesti diberikan kepada orang-orang yang tepat. Wallahu a'lam.

sumber : Hikmah Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement