Selasa 02 Oct 2018 11:09 WIB

Terapi Musibah

Musibah hendaknya ditenggarai sebagai jembatan mendatangkan keridhaan Allah.

Foto udara Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Foto udara Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID,OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN 

Terdapat ungkapan menarik yang tentunya telah mafhum, ad-dunya daar al-imtihan, dunia adalah arena ujian. Iman sejati justru berada dalam ujian. Lantas, mendidik nurani berbisik sebagaimana sajak Rendra, ... hari ini dan esok, langit di luar langit di dalam, bencana dan keberuntungan sama saja.

Pesan moral dari sajak tersebut semestinya yang hadir dalam diri adalah kepasrahan yang tulus. Sebab, boleh jadi gelapnya musibah yang datang barangkali dapat memberikan pijar yang lebih terang dalam hidup.

Musibah hendaknya ditengarai sebagai jembatan yang mendatangkan keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, Bahwasanya pahala itu ber gantung pada besarnya ujian bala, dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka kaum itu diuji nya terlebih dahulu, maka barang sia pa yang ridha mendapatkan ujian itu, maka mendapatkan keridhaan Allah, dan barang siapa yang benci, maka kemurkaan Allah baginya. (HR Tirmidzi).

Seseorang yang dirundung musibah, pada umumnya jiwa dan mental hidupnya menjadi rapuh. Oleh karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi seorang Muslim selain mengembalikan semua peristiwa kepada Allah sebagai sebuah takdir dari-Nya. Sebagaimana ungkapan yang sering kita serukan, innalillahi wainnailaihiraaji'un.

Secara eksplisit, sesungguhnya Allah telah memberikan terapi khusus bagi mukmin saat ditimpa musibah, sebagaimana firman-Nya, Hai orang- orang yang beriman, mintalah (pertolongan) kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Baqarah [2]:153).

Pertama, sabar dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan secara arif bijaksana. Seorang mukmin sejatinya menyadari bahwa hidup ini dan segalanya adalah hak mutlak Allah. Apa yang dimiliki, baik harta benda dan materi apa pun, hanyalah hak sekadar meminjam dari-Nya. Itu semua pada saatnya harus dikembalikan kepada-Nya. Bila semua yang kita miliki bukan milik kita, mengapa kita harus menangisi dan meratapi ketika semuanya lenyap dan hilang dari sisi kehidupam kita.

Sabar merupakan poros dan asas segala kemuliaan akhlak. Saat seseorang menaiki menara kebaikan dan keutamaan, maka sabar menjadi pondasinya. Zuhud, misalnya, merupakan bentuk sabar untuk tidak berfoya-foya meski di saat yang sama hidupnya bergelimang materi dan kekayaan. Qanaah atau merasa cukup dengan yang ada merupakan bentuk sabar dari segala keterbatasan yang ada walaupun di saat yang sama musibah menerpanya.

Kedua, shalat, secara generik berarti berdoa. Tipologi mukmin sejati, ia tidak pernah melepaskan segenap usahanya dengan berdoa yang terangkum indah dalam rangkaian shalat. Melepaskan diri dari belenggu musibah akan terasa indah manakala seseorang memasrahkan segala kehidupannya dalam untaian doa.

Shalat adalah serangkaian doa yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat juga merupakan representasi mikraj seorang mukmin dengan Allah SWT. Shalat adalah dialog istimewa dengan sang Khaliq. Melalui shalat, seorang mukmin dapat mencurahkan segala keluh kesahnya kepada sang pemilik kehidupan dan memohon pertolongan-Nya.

Tidak kurang lafal ayat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'indibaca 17 kali sehari-semalam dalam ritus shalat. Hanya Allah SWT satu-satunya yang berhak disembah dan sebaik- baiknya penolong dalam kehidupan.Shalat tidak hanya dipandang sebagai ungkapan rasa syukur saat mendapatkan rezeki yang berlimpah.

Shalat juga merupakan sarana memperingan penderitaan manakala beban hidup semakin berat. Di saat manusia dibelenggu rasa cemas, maka shalatlah yang membebaskannya. Pun di saat manusia diterpa musibah, maka shalat menjadi sumber tenaga, energi yang akan menguatkan diri dan imannya.

Orang yang dapat mengambil hikmah atas semua musibah, maka sejatinya dia adalah manusia yang tercerahkan.

Orang mukmin adalah orang yang tidak emosional saat mendapatkan musibah, pun tidak sombong tatkala mendapatkan anugerah. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak juga menolak pada kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor. Wallahua'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement