Jumat 22 Jan 2016 15:40 WIB

Menuai Berkah dari Musibah

Musibah/ilustrasi
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Musibah/ilustrasi

Oleh: Ina Salma Febriany

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seseorang yang tertimpa musibah lalu dia mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun serta mengucapkan ‘Ya Allah, berilah aku pahala karena musibah ini dan berilah aku ganti yang lebih baik darinya,’ melainkan Allah memberikannya pahala atas musibah itu dan memberikan ganti yang lebih baik,” (HR Ahmad)

Sabda Nabi saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim, menunjukkan bahwa kalimat yang diajarkan Nabi Saw tersebut merupakan pengobatan yang tepat bagi orang yang mendapat musibah, bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, yang apabila benar-benar dipahami maka dia akan terhibur karenanya.

Kalimat ini mengandung dua dasar yang agung: pertama, seseorang hamba; keluarga dan harta bendanya adalah milik Allah. Semua itu diberikan kepada hamba sebagai pinjaman dari orang yang dipinjaminya. Kedua, tempat kembalinya hamba ialah kepada Allah yang berarti dia harus meninggalkan dunia, datang kepada Allah sendirian, sebagaimana dia menciptakannya pertama kali tanpa harta dan keluarga.

Jika begini keadaannya, maka buat apa dia bergembira karena sesuatu yang ada dan sedih karena sesuatu yang lepas dari tangannya? demikian penuturan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.

Pernyataan Ibnul Qayyim ini diperkuat oleh ayat-ayat Allah dari beberapa surah dalam Alquran dengan sedikit penegasan bahwa dunia adalah sementara dan akhirat adalah yang utama (Qs Adh-Dhuha: 4).

Atau dalam ayat lain menyatakan bahwa alam akhirat adalah kekal adanya, tidak seperti dunia yang fana keberadaannya (Qs Al-A’la: 17), yang pada intinya, kedua surah ini memberikan manusia pelajaran bahwa karena dunia tidak kekal abadi, maka manusia tak perlu bersedih hati—baik harta yang telah hilang darinya atau sanak saudara yang terlebih dulu dipanggil-Nya.

Terkadang, karena begitu indahnya dunia bagi sebagian manusia, ia dibuai dalam kelalaian terhadap dunia; ia pun terlena dan akhirnya banyak menumpuk harta. Kekayaan menjadi visi hidup dan akhirnya ia lupa bahwa jika saja yang Maha Memiliki berkehendak mengambil apa yang ia punya, niscaya Allah sanggup melakukannya.

Dari uraian tersebut, Islam bukan tidak menganjurkan pemeluknya kaya materi, tapi, Islam lebih menganjurkan agar manusia memiliki kaya hati dan jiwa agar mereka sanggup menerima dengan lapang dada; cobaan Allah yang datang tak diduga.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta dunia akan tetapi kekayaan yang hakiki adalah kaya akan jiwa,” (HR Bukhari Muslim).

Faishal bin Abd Aziz dalam Tathriz Riyadhi Shalihiina Hadits di atas menunjukkan bahwa kaya hakiki bukan banyaknya harta dunia disertai sikap rakus terhadapnya, tetapi kaya hakiki itu orang yang merasa cukup dengan sesuatu yang Allah berikan dan merasa rela dengan bagiannya. Kaya jiwa itu terpuji karena akan menjaga diri dari propaganda kerakusan, sehingga ia menjadi orang yang lemah.

Berkaitan dengan kaya, Ibnul Qayyim Al Jauziyah lebih lanjut memaparkan bahwa kaya (al-ghina’) terdiri atas dua macam. Kaya dengan Allah dan tidak membutuhkan yang lain selain Allah. Sebab, hakikat kecukupan ialah kaya hati dan jiwa, bukan kaya harta.

Harta dunia bukanlah segalanya; tapi keimanan dan kekayaan jiwa adalah sesuatu yang diridhai-Nya. Semoga Allah memberikan berkah atas musibah dan menjadikan hati kita kaya; apapun kondisinya. Aamiin

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement