Sabtu 22 Mar 2014 05:18 WIB

Kerakusan Kolektif

Orang rakus (ilustrasi).
Foto: whatislistening.com
Orang rakus (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : KH Didin Hafidhuddin

Sudah merupakan naluriah setiap manusia mencintai segala bentuk harta benda, seperti uang yang banyak, emas dan perak, kendaraan yang mewah serta tanah perkebunan yang luas.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Ali Imran (3) ayat 14 : "Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan, anak anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."

   

Bahkan jika tidak terkendali dengan nilai-nilai keimanan yang kuat, tidak diatur dengan sistim hukum dan penegak hukum yang adil dan berwibawa, tidak dikendalikan oleh keluarga (apalagi jika didukung isteri dan anak-anaknya) manusia cenderung rakus dan tamak.

Ingin menumpuk harta yang sebanyak banyaknya meskipun dengan cara yang kotor, korup, khianat, memfitnah dan merugikan masyarakat dan bangsa.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, "Sekiranya manusia sudah memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mencari harta pada bukit yang ketiga. Dan tidaklah manusia akan merasa kenyang, sampai perutnya dipenuhi dengan tanah (mati)."

   

Kecenderungan rakus tamak ini akan lebih dahsyat lagi dampak buruk dan merusaknya, jika dilakukan secara kolektif dalam sebuah kelembagaan, organisasi, perkumpulan atau perhimpunan, yang diatur secara sistimatis, dari hulu sampai ke hilir.

Dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan yang menentukan dalam lembaga tersebut, sampai pada pegawainya yang paling rendah pekerjaannya.

Dalam perspektif Alquran (lihat surat Al Jaasiah (45) ayat 19) kegiatan ini disebut dengan Persekongkolan orang-orang dzalim, yang seharusnya dijauhi oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa.

   

Jika negara, masyarakat dan bangsa membiarkan kerakusan kolektif ini berlangsung, akan mengundang musibah yang lebih besar lagi.

Baik musibah alam seperti yang terjadi sekarang ini (musibah kabut asap yang sangat membahayakan) apalagi musibah perilaku, saling menghianati, saling menjatuhkan, saling menggunting dalam lipatan, dan pada akhirnya menggoyahkan struktur hukum yang sedang dibangun bersama.

   

Kerakusan kolektif harus dilawan secara kolektif pula, mulai dari keluarga yang menanamkan anti kerakusan, lembaga pendidikan, organisasi sosial kemasyarakatan, para toKoh ulama , para pendidik, dan semua orang yang memiliki keyakinan bangsa dan negara harus diselematkan dari perilaku yang sangat membahayakan ini.

Wallahu alam bi shawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement