Ahad 06 Oct 2013 06:59 WIB

Gosip atau Fakta?

Bergosip (ilustrasi)
Foto: johnprattbooker.com
Bergosip (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh M Husnaini*

Gosip dan fakta merupakan dua istilah yang bertolak punggung. Istilah pertama bermakna pergunjingan seputar keburukan orang lain. Gosip juga semakna dengan kabar burung yang penyampaiannya minim akurasi data. Berbeda dengan itu, istilah kedua merupakan keadaan atau peristiwa yang nyata. Sesuatu dikatakan fakta biasanya karena didukung data yang kuat dan benar-benar terjadi di lapangan.

Kebenaran fakta bisa diuji secara ilmiah, sementara gosip kerap menyebar ke segala penjuru arah tanpa bisa dilacak juntrungannya. Fakta mampu mengurai kerumitan masalah, sementara gosip justru mengeruhkan masalah. Gara-gara gosip, hubungan harmonis berubah menjadi luapan dendam dan permusuhan. Itulah kenapa Al-Qur’an mengajarkan orang beriman agar senantiasa selektif menerima berita, memilah antara gosip dan fakta.

“Wahai orang-orang beriman, jika orang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti supaya kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan mereka, yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” [QS Al-Hujurat: 6].

Allah hendak membimbing orang beriman agar tidak mudah termakan fitnah dan adu domba. Langkah pertamanya adalah meneliti keabsahan berita. Setiap yang sampai pada telinga dan mata orang beriman harus melewati uji data. Yang manis jangan langsung ditelan, yang pahit jangan seketika dimuntahkan. Sikap bijak itulah yang harus dipedomani orang beriman agar dapat memungut mutiara fakta di antara serpihan gosip.

 

Kendati demikian, tidak mudah membedakan mana gosip dan mana fakta. Lebih susah lagi ketika kita berada dalam era keterbukaan media seperti sekarang. Masing-masing pihak absah membuat berita, yang tidak jarang di dalamnya campuk aduk antara berita dan fitnah. Dalam situasi demikian, tentu saja orang pusing membedakan mana gosip dan mana fakta.

Sekadar ilustrasi sederhana, sebuah media memberitakan Fulanah kini terancam dipecat dari jabatannya karena terbukti berselingkuh dengan rekan pria sekerjanya. Membaca berita itu, seketika orang membayangkan betapa rendah martabat wanita itu. Sudah berumah tangga dan memiliki tiga putra, kok masih saja doyan bermain api. Di mana gerangan naluri keibuannya.

Tetapi, media lain justru mengabarkan berita berbeda untuk kasus yang sama. Fulanah hanya korban kedengkian rekan-rekannya sehingga digosipkan berselingkuh dengan PIL alias pria idaman lain. Fulanah sesungguhnya wanita jujur. Hanya karena memutuskan menjadi mualaf, banyak rekan sekantornya yang membencinya, sehingga harus dirancang beragam cara untuk menghancurkan reputasinya.

Demikianlah. Beragam berita yang menjadi menu keseharian kita sesungguhnya juga tidak pernah sepi dari gosip dan fakta. Apalagi setiap media pasti mengantongi visi dan misinya masing-masing. Boleh jadi seorang tokoh digambarkan sebagai pahlawan oleh sebuah media, tetapi media lain justru menilainya sebagai pecundang. Juga bukan mustahil seorang pejabat dianggap berjasa oleh sebuah media, tetapi media lain malah melihatnya sebagai perampas hak sesama. Demikian seterusnya.

Pastinya, era keterbukaan ini seakan mengikis semua rahasia. Hampir setiap sisi kehidupan, terutama orang-orang terkenal, layak menjadi berita. Tidak peduli apakah itu aib atau bukan, yang penting dapat menarik minat publik. Anehnya, kita malah tampak antusias menikmati berita sampah itu layaknya santapan wajib keseharian.

Lihatlah mereka yang begitu khusyuk memelototi televisi, koran, dan majalah yang memuat berita seputar kisruh rumah tangga dan permusuhan artis atau tokoh. Disangkanya itu sebuah tontonan hiburan, alih-alih mengonsumsi berita sampah berbau fitnah. Lambat laun, tradisi demikian akan meruntuhkan sendi-sendi moralitas kita sebagai orang beriman.

Untuk dapat memilah antara gosip dan fakta, terutama sekali harus diteliti dengan cermat kredibilitas pembawa berita. Sekiranya berita itu disampaikan media, perhatikan apa kira-kira kepentingan media bersangkutan. Jernihkan nalar dan hati, kemudian pastikan untuk meneliti sumber berita tidak hanya dari satu media. Jangan terburu menyimpulkan sebelum melakukan kajian secara teliti dan mendalam.

Sesulit bagaimana pun, orang beriman harus mampu memastikan bahwa berita yang diterima adalah fakta, bukan gosip. Poin utamanya, jangan sampai menimpakan stigma negatif kepada individu atau kelompok semata berdasarkan kebencian. Nalar dan hati selayaknya dikerahkan untuk menilai segala macam berita secara adil dan berimbang. Menarik merenungkan pesan Allah berikut.

“Wahai orang-orang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [QS Al-Maidah: 8].

*Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Alamat Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement