REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Didik Dahlan Lukman
Haji adalah salah satu fondasi keislaman. Rukun kelima dari rukun Islam. Haji adalah puncak ketaatan. Haji itu memang istimewa, ritualnya pasti dan tertentu, tapi hampir-hampir dalam manasiknya tak ada aktivitas yang menuntut kekhusyukan. Haji itu adalah ibadah multidimensi; ibadah fisik, ibadah maaliyah (pengorbanan harta), ibadah doa, bahkan ibadah sejarah. Sebagai ibadah yang berdimensi sejarah, tanpa bermaksud mengenyampingkan peran dan keunggulan para nabi yang lain, haji adalah napak tilas perjuangan para nabi, terutama Nabi Ibrahim AS.
Di area tawaf, jamaah memiliki kedekatan, baik fisik maupun emosional dengan Hijr Ismail dan Maqam Ibrahim. Dari namanya saja, kedua tempat ini sangat melekat dengan keluarga Abul anbiya (Ibrahim AS). Safa - Marwah adalah bukti fisik perjuangan ibunda Hajar, istri nabi Ibrahim AS. Demikian juga, dengan melontar jumrah, menyembelih hadyu dan manasik lainnya, hampir semuanya bermuara kepada sosok Nabi Ibrahim AS.
Dalam surah al-Baqarah 124, Allah menetapkan Nabi Ibrahim AS sebagai imam bagi sekalian manusia. Ketetapan ini tentu bukan tanpa alasan. Masih menurut keterangan ayat ini, Ibrahim AS dianggap mampu menyelesaikan secara sempurna berbagai ujian (fa atammahunna), sekalipun ujian itu di luar kemampuan manusia pada umumnya.
Nabi Ibrahim harus berhadapan dengan penguasa, bahkan dengan sosok ayah yang membesarkannya, dibakar jilatan api membara, menempatkan istri dan anaknya di tempat tak berkehidupan, sampai mendapat perintah menyembelih anaknya sendiri. Ibrahim AS adalah imam.
Kata imam, satu akar kata dengan ummi yang berarti ibu, orang yang selalu dijadikan tempat berlabuh kala susah ataupun senang, dijadikan panutan dan teladan keseharian anak-anaknya. Demikian juga dengan imam, adalah orang yang selalu ditempatkan di depan, dinanti, dan diikuti keadilan serta kebijaksanaannya.
Setidaknya Nabi Ibrahim AS harus dijadikan imam, panutan, dan teladan oleh seluruh manusia, terutama dalam mengelola ujian. Susah dan senang, selalu disikapi Ibrahim AS dengan ketaatan kepada Allah, sekalipun mungkin secara kasat mata merugikan, menganiaya, bahkan menzalimi diri dan keluarga sendiri.
Kata ibtala yang dipergunakan di awal ayat 124 surah al-Baqarah itu bermakna ujian, yaitu ujian baik dan ujian buruk. Imtihan dan mahnah, demikian keterangan Raghib al Isfahani. Ujian adalah proses meniti karier ke posisi atau peringkat selanjutnya atau bahkan untuk menjadi sesuatu (QS Muhammad, 47: 31).
Kebanyakan, orang itu mampu bersabar ketika diberi ujian berupa tekanan, derita, dan nestapa, tetapi manakala ujian itu berupa kelebihan dan kebahagiaan, tidak mampu mensyukurinya, demikian kira-kira pernyataan Umar bin Khattab. Ibadah haji adalah puncak ketaatan seseorang kepada Allah.
Puncak bukan berarti finis, apalagi merasa dirinya berada di atas menara gading yang kemudian berimbas pada munculnya sikap minta dihormati dan dimuliakan oleh orang-orang di sekitarnya. Beribadah haji sesungguhnya mengajarkan totalitas kepasrahan, ketaatan, pengabdian, bahkan berlapang dada terhadap segala ketetapan Allah, yang kemudian diterima dan dikelolanya dengan baik untuk dijadikan sebagai peluang kebaikan menuju derajat manusia paripurna, yaitu muttaqiin. n