Jumat 19 Oct 2018 04:50 WIB

Belajar Merasakan

para pecinta sejati tentu akan saling membimbing diri

Ilustrasi Takwa
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Takwa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Arifin Ilham

Terkisah dari Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah. Di satu pagi, seorang santri  menemui  gurunya dalam keadaan pucat pasi. “Wahai Tuan Guru, semalam aku mengkhatamkan Alquran dalam shalat malamku.”

Sang guru tersenyum. “Bagus, Nak. Nanti tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Alquran itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.” Esok harinya, sang murid datang dan melapor kepada gurunya.

“Tuan Guru,” katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Alquran itu.”

“Engkau sungguh telah berbuat baik,” ujar sang guru sembari menepuk pundaknya.

“Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para sahabat Nabi yang telah mendengar Alquran itu langsung dari Rasulullah. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu.”

Pagi-pagi buta, sang murid kembali menghadap dan mengadu. “Duh Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Alquran yang dapat aku lafalkan.”

“Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru mengelus kepala si santri. “Nanti malam bacalah Alquran dengan lebih baik lagi sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah Saw sendiri. Orang yang kepadanya Alquran diturunkan.”

Seusai shalat Subuh, sang guru bertanya, “Bagaimana shalatmu semalam?”

“Aku hanya mampu membaca satu juz, Guru,” kata si santri sambil mendesah. “Itu pun dengan susah payah.”

“Masya Allah,” kata sang guru sambil memeluk sang santri dengan bangga.

“Teruskan kebaikan itu, Nak. Dan, nanti malam tolong hadirkan Allah di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah  yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Alquran. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik, hadirkan Allah karena Dia mendengar dan menjawab apa yang engkau baca.”

Keesokan harinya, ternyata santri itu jatuh sakit. Sang guru pun datang menjenguknya. “Ada apa denganmu?” tanyanya.

Sang santri berlinang air mata. “Demi Allah, wahai Tuan Guru,” ujarnya. “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Hatta, cuma al-Fatihah pun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan ‘Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah’, tapi jauh di dalam hatiku aku tahu bahwa aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.”

“Nak...,” kata sang guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan, sungguh aku ini muridmu. Ajarkan kepadaku apa yang telah kau peroleh. Sebab, meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini. “

Ikhwah, para pecinta sejati tentu akan saling membimbing diri untuk bersama mendekat kepada Rabb-nya. Mereka tidak akan canggung berbagi peran untuk belajar merasakan. Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement