Senin 17 Sep 2018 13:49 WIB

Umur, Waktu, dan Hijrah

Ada dua nikmat yang disia-siakan oleh mayoritas manusia.

ilustrasi merenungi waktu dan dosa
Foto: jart-gallery.blogspot.com
ilustrasi merenungi waktu dan dosa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bahagia

Tahun kemarin sudah berganti dengan tahun yang baru. Bertemu lagi dengan tahun yang sama. Setiap tahun yang terlewatkan menjadi ukuran bahwa umur seseorang telah berkurang. Semakin sedikit jatah hidup di dunia dan harus berkorelasi dengan penggunaan waktu.

Dalam sebuah hadis, dari Abdullah bin Ummar RA, Rasulullah SAW pernah memegang pundak Abdullah bin Ummar RA kemudian beliau bersabda, "Jalani hidup di dunia seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang dalam perjalanan. Apabila kamu berada pada waktu sore, janganlah kamu menunggu-nunggu waktu pagi."

"Apabila kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu menunggu-nunggu waktu sore. Manfaatkanlah hidupmu di dunia untuk hidupmu sesudah mati." (HR Imam al- Bukhari). Hanya saja, waktu kerap berlalu dan tidak terasa jatah umur di dunia telah habis.

Nasihat tersebut diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA. Dia berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ada dua nikmat yang disia-siakan oleh mayoritas manusia, yaitu ke sehatan dan waktu luang." (HR Imam al-Bukhari). Padahal, sudah terdapat ciri-ciri manusia agar berhijrah dari segala keburukan yang dia lakukan.

Ada beberapa pelajaran berharga dari hadis ini. Pertama, berhijrah. Jika selama ini tidak tepat waktu shalat, mulai hari ini shalat tepat waktu. Dilanjutkan dengan evaluasi penggunaan waktu, untuk apa saja waktu itu selama ini. Waktu sebaiknya digunakan untuk berkarya dan beribadah kepada Allah.

Jika selama ini waktu masih dipergunakan untuk korupsi, nakal dengan orang lain, meminum minuman keras, bergosip, berdebat, menghina, berpura-pura baik, bepersepsi negatif, merundung, menjustifikasi orang lain kafir, dan lain-lain, maka segera hijrah total dari perilaku buruk ini. Kedua, mengoreksi kegagalan.

Setiap orang pernah gagal, tetapi jangan gagal terus-menerus. Gagal beberapa kali untuk bangkit kembali. Ketiga, memperbaiki hubungan dengan Allah. Apa pun yang terjadi, mulai dari bencana hingga kesulitan, tidak membuatnya bepersepsi negatif kepada Allah. Semua harus dijalani untuk menjadi manusia yang berhasil yang bisa menjalani hidup saat bencana itu datang.

Keempat, perbaikan sosial. Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup individualis. Meski fakta itu sudah nyata, sebagian orang lebih suka menonton televisi, bermain gawai, dan menutup pintu kepada tetangga. Padahal, jalinan sosial kepada orang lain bernilai ibadah. Bagaimanapun, rezeki dari Allah. Tetapi, berbuat baik kepada orang lain dapat memperbanyak rezeki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement