Selasa 10 Jul 2018 13:12 WIB

Pemimpin dan Keteladanan Diri

Mengapa di negeri yang katanya beragama, tapi korupsinya makin menggila.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Muid Badrun

Buat apa pintar, tapi tak berani ambil keputusan. Buat apa pandai, tapi berkata benar di depan atasan saja tak berani lakukan. Buat apa kaya jika tak mau berbagi sesama. Buat apa punya rupa cantik dan ganteng jika tidak untuk mendekat kepada-Nya. Buat apa punya jabatan jika tak bisa urus bawahan. Nurani kita entah di mana. Kalbu kita entah tersimpan di mana. Urat nadi keberanian kita seakan tak bendenyut lagi, ketika kezaliman dan kejahatan marak di negeri ini.

Mengapa di negeri yang katanya beragama, tapi korupsinya makin menggila. Bahkan, kasus korupsi KTP-el dilakukan secara merata dan berjamaah. Terbukti sampai saat ini, masih berlangsung proses hukumnya dan melibatkan banyak sekali "orang-orang penting" di negeri ini. Sungguh ironis hal itu bisa terjadi di negeri yang notabenenya mayoritas Muslim. Kita sungguh menyesalkan dan kecewa dengan semua ini.

Kok bisa ya, maling uang negara tetap saja bisa tersenyum gembira. Akal sehatnya di mana. Logika kewarasannya ada gak ya? Gambaran ironisme ini mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa negeri ini sudah remuk luar dalam alias gegar otak plus kulit tubuhnya terkelupas di mana-mana. Kalau sudah begini, wajar kalau banyak yang meragukan masa depan Indonesia.

Ada peribahasa "nila setitik rusak susu sebelanga". Saat ini telah berganti menjadi "nila sebelanga rusak semua sendi negara". Tulisan ini tidak bermaksud mengutuk kegelapan.Namun, sebagai insightbahwa kita saat ini sudah berada di kegelapan demi kegelapan. Lilin penerang memang kita butuhkan.

Tidak cukup hanya itu. Yang kita butuhkan sejatinya adalah pemimpin yang berani. Tidak saja hanya berani berkata, tapi berani membuktikan dan menghukum mati para koruptor.Mempermalukannya di depan umum. Semoga ini bukan mimpi atau ilusi. Tapi menjadi kenyataan agar negara ini bisa terbebas dari korupsi.

Kita membutuhkan pemimpin teladan ketika negeri ini defisit keteladanan. Minimal keteladanan dari diri kita sendiri. Jika diri ini sudah baik, akan menyebar kebaikannya. Terus dan teruslah menyebar dan menebar. Dengan cara apa pun kebaikan harus terus dibudayakan dan ditegakkan.

Jangan sampai kalah dengan kebatilan yang ujungnya akan hancur dan menghancurkan (QS al-Isra': 81). Karena itu, dengan makin masifnya budaya kebaikan di masyarakat akan memberikan rasa malu dan enggan pada mereka yang berbuat sebaliknya.Karena pada prinsipnya kebaikan itu hanya pantas dibalas dengan kebaikan (QS ar-Rahman:60).

Namun, jika keburukan dan kejahatan ini sudah terjadi di mana-mana dan menjadi biasa (budaya), yang berbuat baik pun akan dianggap manusia aneh dan malu ketika berbuat baik.Apakah ini yang akan kita wariskan untuk anak cucu kita nanti? Tentu tidak! Karena itulah, lewat tulisan pendek ini, mari bersama-sama berikrar dan bertekad untuk menyalakan lilin kebenaran, mulai dari diri sendiri (keluarga), dari yang paling mudah dan saat ini juga. Ini harus menjadi gerakan umat Islam di Tanah Air secara masif.Sehingga, peradaban mulia dan agung itu segera kita rasakan bersama di lingkungan kita (QS Saba': 15).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement