Jumat 06 Jul 2018 13:30 WIB

Mengunjungi Guru

Kunci keberhasilan itu pandai berbakti kepada kedua orang tua dan memuliakan guru.

Guru mengajar (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Guru mengajar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Hasan Basri Tanjung

Alhamdulillah, rasa syukur yang mendalam patutlah dipanjatkan ke hadirat Ilahi atas limpahan karunia yang tak terhingga. Kita telah usai menjalani ibadah puasa dan merasakan keceriaan Hari Raya Idul Fitri 1439 H di seluruh penjuru negeri. Kiranya, pendidikan (tarbiyah) dan pelatihan (riyadhah) yang dilalui di madrasah Ramadhan dapat menjadi bekal dalam menata diri dan sistem sosial Islami yang lebih baik.

Esensi Idul Fitri itu kembali kepada kesucian diri sebab dosa kepada Allah SWT dan manusia sudah diampuni.Lebaran pun menjadi momentum saling memaafkan, menyambung silaturahim dengan orang tua, guru, kerabat, dan handai tolan. Mudik ke kampung halaman sebagai wujud dari pesan Nabi SAW, Barang siapa yang ingin dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umur maka hendaklah menyambung tali kasih sayang." (HR Bukhari).

Bersama keluarga, saya pun mudik ke pelosok Labusel, Sumatra Utara. Menelusuri jalan darat lebih dari 4.200 km dan melalui tujuh provinsi. Sejatinya bukan sekadar touring biasa, melainkan memaknainya sebagai perjalanan hidup yang hakiki menuju Tuhan (QS 18:110). Menikmati luasnya hamparan bumi nan indah, menengok ragam keunikan karakter manusia dan saling bertegur sapa. Bak kata pepatah, Lama hidup banyak dirasa, jauh berjalan banyak dilihat, pandai bergaul banyak sahabat."

Mudik kali ini begitu berkesan. Setelah ziarah ke kubur orang tua yang melahirkan (kandung) dan yang menikahkan (mertua), lalu mengunjungi orang tua yang mengajarkan (guru). Mencari empat guru di kota yang berbeda dan sudah puluhan tahun tidak bersua.

Pertama, Pak Ngatiyo. Guru SD tahun 1983 nan bersahaja. Beliau pandai bercerita dan memotivasi, hingga terngiang sampai saat ini. Mengetahui kunjungan saya, beliau pun rela menunggu di pinggir jalan raya. Memang tidak mudah menemukan rumahnya. Namun, atas pertolongan Allah SWT juga, usaha pun tak sia-sia.

Kedua, Ibu Zuriah. Guru madrasah tsanawiyah di Merbau tahun 1987. Berbekal sedikit kenangan lama, saya pun bertanya kepada siapa saja yang mungkin mengenalnya.Walau tiada alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi, rupanya Allah SWT memudahkan murid menemui guru yang sudah 31 tahun lamanya tidak berjumpa.

Ketiga, Ibu Nur Hamidah. Guru bahasa Arab MAN Padang Sidempuan. Walaupun sejak lulus tahun 1990 tidak pernah bertemu lagi, tidak sulit mencari rumahnya karena tidak jauh dari sekolah. Saya juga pernah mengirimkan buku pertama, Karunia tak Ternilai, dan dijadikan rujukan dalam pengajian.

Keempat, Abang Bakiri Dasopang. Sewaktu masih kecil dahulu, beliau sering ceramah ke kampung. Juga membantu masuk ke madrasah aliyah dan mengantarkan kuliah ke Jakarta tahun 1990. Ketulusannya menjadi wasilah untuk mengubah nasib kehidupan hingga pencapaian saat ini.

Tak terkirakan rasa haru, bangga, dan bahagia saat bertemu dengan mereka setelah sekian lama tak jumpa. Peluk an rindu dan tangis bahagia pun meliputi suasana penuh syah du.Awalnya mereka tak lagi mengenal. Namun, se orang guru tak pernah melupakan muridnya. Saya pun minta petuah dan doa dalam mengarungi jalan dakwah, terutama untuk ananda Ihza yang hendak kuliah ke al-Azhar, Kairo, Mesir.

Teringat nasihat orang bijak, Kunci keberhasilan itu pandai berbakti kepada kedua orang tua dan memuliakan guru. Kiranya upaya menjalin silaturahim kepada orang tercinta dan berjasa menjadi pembuka jalan rezeki dan kebaikan. Insya Allah anak dan murid kita pun kelak pandai berbakti, aamiin. Allahu a'lam bish-shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement