Sabtu 28 Jan 2017 17:16 WIB

Bicarakan Isi Tetap Menjaga Bungkus

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

Oleh: KH Muhammad Arifin Ilham

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat kita kenakan baju baru atau makan enak, maka berpikir syar'i-nya adalah yang ada padanya yang halal, bergizi dan sehat. Kita bangun rumah megah dan atau beli kendaraan mewah, sungguh itu hanya bungkus. Apa isinya? Amal kebajikan. Ranjang indah dan kasur empuk hanya bungkus; tidur nyenyak bernaung rahmat-Nya adalah isinya.

Kekayaan itu hanya bungkusnya, kedermawanan dan hati ikhlas itu isinya. Istri cantik dan suami tampan hanya bungkusnya, kepribadian dan keluarga sakinah itu isinya. Jabatan itu hanya bungkusnya, pengabdian dan berkhidmat itu isinya. Karisma hanya bungkusnya, akhlaqul karimah itu isinya. Hidup di dunia itu bungkusnya, nasib hidup sesudah mati itu isinya.

Bermuslim dan berbaju gamis adalah bungkus, keseriusan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah isinya. Bermaulid dan bersenandung shalawat adalah bungkus, menghidupkan amal Sunah Nabi isinya. Beretorika ucap dalam panggung dakwah adalah bungkus, melestarikan dengan istiqamah kemuliaan akhlak adalah isinya.

Sungguh beruntunglah mereka yang mengutamakan isi namun merawat rapi bungkusnya. Janganlah kita mati-matian mengejar apa yang tak bisa kita bawa mati, sementara melupakan apa yang pasti terjadi di akhirat nanti.

Mari saatnya kita bicara isi dalam konteks berkeumatan secara lintas berbangsa dan bernegara. Terus jaga lisan dan hati kita untuk menjulurkan doa dan tangan buat saudara-saudara kita di Rohingya, Myanmar. Mereka yang terusir dari negeri sendiri, terlunta-lunta di negeri orang, jelas sangat membutuhkan perhatian kita.

Kirim terus untaian munajat malam kita untuk kenestapaan saudara Muslim di Palestina, Suriah, Pattani Thailand, Moro Filipina atau saudara kita di Xinjiang dan Uighur Cina. Dan saudara-saudara kita yang lain di belahan bumi mana pun.

 

Jangan pernah bosan untuk terus ingatkan negeri ini bahwa Rasulullah SAW menubuatkan akan datangnya situasi dan kondisi yang sangat dilematis sekaligus merupakan tragedi kehidupan. "Akan datang kepada manusia masa-masa yang penuh dengan penipuan. Ketika itu, orang yang jujur didustakan, para pendusta dipercaya, amanat diberikan kepada pengkhianat, dan orang yang amanah dikhianati; dan ruwaibidhah turut bicara." Lalu beliau ditanya, "Ya Rasulullah, apakah ruwaibidhah itu?" Beliau menjawab: "Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan publik." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Di negeri ini, betapa banyak para pendusta justru dipercaya menjadi pejabat negara. Orang yang jujur disingkirkan, dan orang yang khianat malah diberi amanat. Jadi, jika bicara isi, maka ingatkan terus hal ini untuk negeri tercinta kita.

Mempercayai para pendusta dan mengkhianati orang yang amanah adalah perbuatan yang tidak bermoral. Tetapi begitulah karakteristik era politik akal-akalan. Seorang penguasa atau pejabat negara yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya, menggunakan semua tipu muslihat, mulai dengan harta, takhta dan wanita.

Tragisnya, dari kalangan pendusta dan pengkhianat ini muncul ruwaibidhah, orang-orang bodoh yang tidak berkompeten mengurusi urusan rakyat, baik secara mental, intelektual maupun moral. Hakim memutuskan perkara di pengadilan, tapi di tempat lain sekaligus menjadi mafia kasus. Sementara ada menteri dan para gubernur, bupati, wali kota banyak yang dipenjara karena kasus korupsi, bahkan terlibat prostitusi dan narkoba. Bagaimana mereka dapat menyelesaikan masalah kehancuran moral bangsa, sementara mereka sendiri secara moral bermasalah?

Yuk, teruslah kita bicarakan isi dengan tetap menjaga bungkus. Wallahu A'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement