Sabtu 10 Sep 2016 08:25 WIB

Meninggalkan Perbuatan Munkar

Pendusta/ilustrasi
Foto: mensfitness.com
Pendusta/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dudung Abdul Rohman*)

Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

Apa itu perbuatan munkar? Kalau dilihat dari segi bahasa, kata munkar senada dengan kata ingkar, yang artinya menolak atau mengingkari. Kata Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab Tafsirnya (1997:220), munkar adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ (ajaran Islam) dan dianggap jelek oleh akal sehat. Sedangkan menurut Al-Maraghi (2006:170), munkar adalah perbuatan yang diingkari oleh akal seperti rasa marah yang kuat, memukul, membunuh, dan bersikap congkak di hadapan orang lain. Perbuatan ini sudah barang tentu semuanya ditolak oleh akal sehat dan tidak dibenarkan oleh agama.

Karena itu, kebalikan dari perbuatan munkar adalah perbuatan ma’ruf. Ma’ruf secara bahasa artinya sudah dikenal atau diketahui sehingga tidak asing lagi. Menurut Ash-Shabuni (1997:220), ma’ruf adalah perbuatan diperintahkan oleh syara’ dan dipandang bagus oleh akal sehat. Ma’ruf ini semacam kebiasaan-kebiasaan yang sudah dipandang patut oleh agama maupun susila. Maka kewajiban kita untuk menghidupkan dan memelihara perbuatan ma’ruf dan menghilangkan perbuatan munkar. Hal ini termasuk esensi dakwah, yakni mengajak manusia untuk berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar.

 

Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-‘Imran [3]:104).

Dewasa ini, fenomena kemunkaran demikian mengejala di masyarakat. Yang dulu dianggap tabu sekarang sudah dianggap biasa. Seperti pergaulan bebas antar lawan jenis, tawuran antar pelajar, saling menghina dan mengejek, dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Apabila dibiarkan, maka akan terjadi pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat. Sehingga nanti boleh jadi yang tidak wajar dianggap wajar, dan yang tidak layak menjadi layak.

Gejala ini sepertinya sudah mulai merebak di tengah-tengah masyarakat. Maka, kita selaku umat Islam diperintah untuk merubah dan mencegah perbuatan munkar ini. Dalam hadis riwayat Muslim ditegaskan, “Barangsiapa yang melihar kemunkaran maka cegahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu cegahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu cegahlah dengan hatinya; namun yang demikian itu selemah-lemah iman”.

Di sinilah pentingnya kritik sosial. Kita jangan sampai membiarkan kemunkaran itu merajalela. Karena lambat lain akan membahayakan dan membinasakan. Analoginya seperti penumpang yang berada dalam kapal laut. Penumpang kapal yang berada di bawah apabila memerlukan air harus mengambil ke atas. Hal ini dilakukan berkali-kali sehingga menimbulkan kebosanan. Akhirnya penumpang kapal yang berada di bawah itu memutuskan, “Mengapa kita harus capek-capek mengambil air ke atas, sudah saja kapal ini dilobangi karena di bawahnya banyak air?” Apabila perbuatan penumpang kapal yang berada di bawah ini dibiarkan dan penumpang kapal yang berada di atas tidak segera mencegahnya, alamat celakalah seluruh penumpang kapal karena sebentar lagi akan tenggelam.

Begitu pula kemunkaran yang dibiarkan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Lambat laun akan menggerogoti dan merusak tatanan dan keharmonisan kehidupan masyarakat. Sehingga terjadi gejolak dan pergeseran nilai yang mengancam eksistensi kehidupan. Maka dengan dibiarkannya kemunkaran dan kemaksiatan, yang namanya musibah dan malapetaka akan senantiasa mengancam kehidupan umat manusia.

Dengan demikian, mengapa di Indonesia belakangan ini banyak terjadi musibah dan bencana? Ini bukan semata-mata faktor alam, namun yang paling dominan adalah keingkaran dan kedurhakaan manusia yang merusak lingkungan sekitar dengan semena-mena. Mereka asyik mengeksplorasi alam demi kepentingan dan keuntungan sendiri, sementara akibatnya terjadi kerusakan alam yang sangat patal yang menyebabkan bencan dan musibah terjadi di mana-mana.

Allah SWT mengingatkan: Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Al-Ruum [30]:41).

Jadi kita harus peduli dengan lingkungan sekitar. Kita jangan bersikap acuh tak acuh dengan perbuatan munkar dan kemaksiatan yang terjadi di sekitar kita. Berusahalah sekuat tenaga untuk dapat mencegah dan memperbaikinya. Sehingga keseimbangan dan keteraturan alam ini akan terjaga dengan baik.  Walaahu A’lam Bish-Shawaab.

 

Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung*)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement