Kamis 17 Jan 2019 23:13 WIB

Hukum Musik dan Biduan Perempuan, ini Catatan Qusaish Shihab

Meski diperbolehkan, namun terdapat beberapa batasan yang harus dipatuhi.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Penampilan  Kla Project feat Cristi dalam konser tunggal yang bertajuk Karunia Semesta di Jakarta, Convention Center, Jakarta, Kanmis (6/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Penampilan Kla Project feat Cristi dalam konser tunggal yang bertajuk Karunia Semesta di Jakarta, Convention Center, Jakarta, Kanmis (6/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Islam, kecintaan pada hal yang mengandung unsur keindahan merupakan salah satu fitnah yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Kecenderungan manusia pada keindahan dapat berupa kecintaan pada pemandangan alam, paras yang menawan, aroma yang harum, atau suara yang merdu.  

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah, tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum [30]: 30)  

Musik menjadi suatu bentuk keindahan dan sudah akrab dengan manusia bahkan sebelum Islam datang. Musik biasanya dijadikan sebagai hiburan yang dapat membakar semangat, atau dapat menentramkan jiwa. 

Namun banyak ulama Muslim yang menganggap musik sebagai sesuatu yang haram karena terlalu banyaknya dampak buruk yang dihasilkan.   

 

Imam Syafi’i misalnya, menegaskan haramnya permainan musik Nard yaitu musik yang menggunakan alat musik yang terbuat dari batang kurma. Hal ini berdasarkan pada kebiasaan orang-orang saat itu yang sengaja menyuruh budak perempuannya dan menyanyikan nard, lalu dia mengumpulkan orang banyak untuk mendengar nyanyian budak perempuannya tersebut.   

“Bahkan Imam Abu Hanifah memandang bahwa mendengarkan nyanyian termasuk dosa,” tulis Quraish Shihab dalam buku yang ditulisnya berjudul Perempuan (2018).  

Meski begitu banyak ulama yang menganggap nyanyian bukanlah sesuatu yang haram, salah satunya adalah para ulama sufi. Bahkan Imam Ghazali secara tegas memperbolehkan musik, dan menurutnya, nyanyian dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tak sadarkan diri). Pendapat ini juga mendapatkan banyak dukungan dari para ulama sufi.  

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, musik sejatinya memang menjadi hal yang dilarang. Namun para ulama sufi mengaitkannya dengan kondisi yang terjadi pada saat itu dan dampak negatif yang ditimbulkan musik pada saat itu sehingga munculnya larangan.  

Dalam sabdanya, Nabi Muhammad SAW menerangkan bahwa larangan nyanyian antara lain adalah nyanyian yang dilakukan perempuan di hadapan laki-laki di bar atau tempat yang dipenuhi minuman keras. 

Di sisi lain, terdapat hadis yang menerangkan diperbolehkannya bernyanyi. Dari Aisyah RA, “Rasulullah SAW masuk ke rumah dan ketika itu ada dua orang budak wanita sedang menyanyikan nyanyian peperangan Bu’ats. Maka Rasulullah pergi berbaring di kasur dan mengalihkan wajah beliau. (Tak lama kemudian) masuk Abu Bakar dan menghardikku sambil berkata, ‘Seruling setan di sisi Rasulullah?’ Maka Nabi menghadapkan wajahnya dan berkata pada Abu Bakar, ‘Biarkan keduanya (bernyanyi).’ Ketika beliau terlena, aku berikan isyarat kepada keduanya (penyanyi) untuk keluar.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah)  

Menurut Quraish Shihab, hal ini menunjukkan diperbolehkannya menyanyi dan mendengarkannya. Sedangkan sikap Rasulullah SAW yang memalingkan wajah, menurut para ulama boleh jadi untuk menghindar dari melihat para penyanyi (bukan menghindar dari nyanyiannya).   

Pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, Alm Mahmud Syaltut menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat untuk memperbolehkan nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bekerja/ bertempur, serta memperingati peristiwa bahagia seperti lebaran, perkawinan, dan lainnya. 

Meski diperbolehkan, namun terdapat beberapa batasan yang harus dipatuhi. Quraish Shihab menyebutkan beberapa batasa dalam bernyanyi, yaitu janganlah sengaja membuat suara yang mengundang hasrat selain kepada suami, atau melakukan gerakan yang erotis, karena hal itu jelas diharamkan.   

“Janganlah mereka (para perempuan) menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur: 31)

“Janganlah kamu bersikap terlalu lemah lembut dan lunak yang dibuat-buat dalam berbicara, apalagi dengan yang bukan mahram kamu sehingga berkeinginan buruk dan menarik perhatian orang hang ada penyakit dan kotoran di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik dan dengan cara yang wajar, tidak dibuat-buat.” (Al-Ahzab: 32)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement