Selasa 27 Nov 2018 10:31 WIB

Fatwa Warisan Secara Islami atau Asas Keadilan?

Langkah Tunisia memberlakukan warisan berdasarkan kesetaraan memicu polemik.

Ilustrasi Uang
Foto: ANTARA
Ilustrasi Uang

REPUBLIKA.CO.ID, Fatwa tentang warisan dan pembagiannya belakangan ini, menjadi perbincangan hangat di Mesir. Ini menyusul dikeluarkanya Undang-Undang Persamaan dan Kesataraan Warisan di Tunisia. Undang-Undang tersebut mengharuskan pembagian warisan atas dasar kesetaraan, bukan lagi pada prinsip-prinsip hukum waris yang ditetapkan Islam. 

Mesir sendiri berencana mengadopsi undang-undang tersebut. Bahkan persoalan ini dikaitkan dengan pembaruan (tajdid) agama yang sempat membuat jarak menganga antara Presiden Mesir, Abdul Fatah el-Sisi dan Grand Syek al-Azhar Mesir Syekh Ahmad at-Thayyib. 

El-Sisi berpendapat,”Apakah mereka yang meninggalkan sunah dan cukup berpegangan Alquran dianggap lebih menyalahi Islam, atau sebenarnya (yang salah) adalah mereka yang salah paham dan radikal?” Pernyataan ini keluar setelah Syekh Thayib secara keras mengkritik mereka yang menyerang legalitas hadis. 

Persoalan fatwa persamaan dan kesetaraan dalam pembagian warisan mendapat penolakan keras dari ulama Mesir. Mufti Agung Mesir, Syekh Syauqi Alam menegaskan pembagian warisan berdasarkan persamaan dan kesetaraan bertentangan dengan syariat Islam dan konsensus ulama. 

Hukum warisan, menurut dia, telah ditetapkan dengan ayat-ayat yang pasti (qath’i). Dengan demikian, tidak boleh lagi hukum warisan itu diutak-utik dengan dalih berijtihad berdararkan perubahan kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini. “Ijtihad alam konteks semacam ini memicu kekacuan ajaran-ajaran yang konstan dalam Islam,” tutur dia seperti dilansir Aljazeera, Senin (26/11). 

Dalam banyak hal, memang Islam meletakkan hak dan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan, tetapi tidak menyangkut semua detail dalam ajaran, termasuk soal warisan. Apalagi, hukum warisan menurut Islam, tak selamanya bagian laki-laki lebih besar. 

“Dalam beberapa kondisi, warisan pihak perempuan lebih besar,” tutur dia. 

Perdebatan ini muncul di Mesir, setelah guru besar fikih di Universitas al-Azhar Sa’aduddin al-Hilali mengatakan, keputusan Tunisia untuk melakukan pembaruan hukum warisan dengan menyamakan porsi antara laki-laki dan perempuan itu secara fikih benar dan tidak bertentangan dengan Alquran. 

Al-Hilali yang terkenal dengan pandangannya yang controversial menyatakan, persoalan warisan adalah masalah hak dan bukan kewajiban seperti shalat dan puasa. “Masalah hak manusia bisa mengutak-atiknya dan Mesir akan seperti Tunisia 25 tahun mendatang terhitung dari sekarang,” tutur dia. 

Pernyataan al-Hilali tersebut mendapat serangan balik. Syekh Ali Jumah, mantan mufti Mesir mengatakan pemberlakuan warisan atas dasar prinsip kesetaraan bertentangan dengan Islam. Syekh Ali Jumah juga membantah Mesir akan seperti Tunisia. “Bukan seperti mendatangkan unta wahai Sa’ad (al-Hilali), ini adalah agama yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak,” tutur Syekh Ali Jumah. 

Pernyataan al-Hilali juga ditegaskan bukan merupakan representasi Universitas al-Azhar. Juru bicara Universitas al-Azhar, Ahmad Zari’ mengatakan pendapat al-Hilali itu adalah pandangan pribadi, bukan al-Azhar. Apa yang al-Hilali sampaikan tersebut bertentangan dengan Alquran dan metode al-Azhar. “Al-Azhar akan segera menentukan sikap atas pandangan al-Hilali itu,” kata dia.  

  

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement