Selasa 03 Apr 2018 04:28 WIB

Pengalihan Kredit dalam Pandangan Islam

Istilah ini bermakna pengalihan utang.

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Pungutan dan bunga utang membuat beban pembayaran kian besar. (ilustrasi)
Foto: Know Your Bank
Pungutan dan bunga utang membuat beban pembayaran kian besar. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bermuamalah dengan cara mencicil cukup populer di In donesia. Banyak pembelian kendaraan, rumah, hingga masih barang elektronik yang dibeli lewat kredit. Di dalam Alquran pun tertera jelas tentang bagaimana ketentuan jual beli tidak secara tunai. "Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya." (QS al-Baqarah: 282).

Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih 'adam al jahalah(dilakukan secara jujur dan menyepakati batas waktu dan harga barang). Transaksi tersebut pun harus bebas dari unsur riba.

Meski demikian, ada kalanya seorang yang tak sanggup mem- bayar cicilan kemudian mengalihkannya kepada orang lain. Tak hanya cicilan, pinjam meminjam uang yang dibenarkan syara' pun terkadang mengalami pengalihan. Contoh kasus, yakni si A memberi pinjaman kepada si B, sedangkan si B masih punya piutang kepada si C. Begitu si B tidak mampu membayar utangnya kepada si A, ia mengalihkan beban utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B kepada si A, sedangkan utang si C dianggap selesai.

 

Lantas, muncul pertanyaan mengenai pengalihan kredit atau over kredit dari satu debitur kepada calon debitur lain, apakah sah dalam Islam? Over kredit dalam Islam disebut dengan bahasa hawalah. Istilah ini bermakna pengalihan utang. Berdasarkan sabda Nabi SAW, hawalah termasuk transaksi muamalah yang sah di mata syara'.

Penangguhan orang kaya itu zalim. Jika salah seorang kalian dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia mau menerima peng alihan itu. (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, Haram bagi orang yang mampu mem bayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah seorang di antara kalian mengalihkan utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diteri- ma asalkan orang lain (yang diminta membayar utang) itu mampu membayarnya. (HR Ahmad dan Albaihaqi).

Pengalihan utang mengha ruskan keberadaan orang yang meng alihkan utang (muhil), orang yang utangnya dialihkan (muhal), dan orang yang kepadanya utang dialihkan (muhal'alaih). Muhil adalah debitor, muhaladalah kreditor, dan muhal'alaihadalah orang yang akan membayar utang.

Dikutip dari kitab Bidayatul Mujtahidkarya Ibnu Rusyd, para ulama menganggap hawalahmerupakan bagian dari muamalah. Mereka mempertimbangkan bahwa persetujuan kedua belah pihak diperlukan. Meski demikian, ada ulama yang berpendapat tidak perlunya persetujuan orang yang menerima pengalihan utang berikut persetujuan orang yang dialihkan utangnya. Para ulama ini memandang jika kapasitas orang yang menerima pengalihan utang terhadap orang yang dialihkan piutangnya, sama seperti kapasitas orang yang dialihkan piutangnya terhadap debitur atau orang yang berutang pada orang lain. Dalil hadis, ".... hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang diminta memba- yar utang) itu mampu memba- yarnya," menjadi sandaran jika persetujuan tak diperlukan.

Menurut Imam Malik, pengal- ihan utang harus memenuhi tiga syarat. Pertama, status utang orang yang dialihkan sudah jatuh tempo. Jika utang itu belum jatuh tempo, sama dengan menjual utang dengan utang. Menurut hukum syara', penjualan tersebut tidak diperbolehkan. Kedua, besaran dan sifat utang yang dial- ihkan harus sama dengan utang baru. Jika ada salah satunya yang tidak sama, statusnya sama dengan menjual utang, bukan hawalah. Karena itu, menurut Imam Malik, muamalah ini tidak berarti keluar dari rukhshahatau kemu- rahan dalam jual beli. Jika sudah masuk dalam jual beli, ada unsur praktik menjual utang dengan utang. Ketiga, utangnya bukan be rupa makanan dari pemesanan atau salam.

Secara garis besar, para ulama menyepakati jika tanggungan utang pada penerima pengalihan harus sejenis dengan tanggungan utang yang ada pada orang yang mengalihkan utang, baik besaran maupun sifatnya. Akan tetapi, sebagian ulama yang membolehkan pengalihan utang tersebut hanya pada emas dan dirham, bukan ma kanan. Para ulama yang melarang pengalihan utang pada makanan beralasan bahwa hal itu berarti menjual makanan yang belum dimiliki secara penuh.

Mayoritas ulama berpendapat jika hukum hawalahkebalikan dari hukum kafalah. Dalam hal, kalau orang yang menerima pengalihan utang mengalami pailit ma ka kreditur tidak boleh menagih kepada orang yang mengalihkan utang. Menurut Imam Ma lik dan murid-muridnya, dike- cualikan jika orang yang mengalihkan utang melakukan penipu an atau kecurangan. Contohnya, ia mengalihkannya kepada orang miskin.

Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat, kreditur boleh menagih kepada orang yang menerima pengalihan utang kalau orang tersebut meninggal dunia dalam keadaan pailit. Kondisi lainnya, orang tersebut menyangkal pengalihan utang sekalipun tidak mempunyai saksi. Wallahu'alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement