Rabu 04 Jan 2017 14:33 WIB

Batasan Memandang

Rep: Ferry Kisihandi/ Red: Agung Sasongko
Buku-buku fatwa (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Buku-buku fatwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Interaksi perempuan dan laki-laki terjadi di mana saja, baik di tempat kerja, di jalan, maupun tempat- tempat publik. Saat berinteraksi dan menjalin komunikasi, memungkinkan mereka saling bertatap muka dan memandang.

Lalu, bagaimana batasan memandang bagi perempuan dalam interaksi sosial ini? Apa yang dimaksud dengan menahan pandangan?

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menahan pandangan yang diperintahkan dalam surah an-Nisa ayat 30-31 kepada perempuan juga laki-laki ini bukanlah memejamkan mata atau menundukkan kepala sehingga tak dapat melihat seseorang. Hal itu tak mungkin dapat dilakukan manusia, katanya. Arti dari menahan pandangan adalah membebaskan pandangan dari tempat-tempat fitnah yang merangsang. Dengan demikian, laki-laki diizinkan melihat perempuan dengan catatan tak melihat auratnya dan tak disertai syahwat.

Saat mereka melakukan hal itu, hukumnya haram. Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan. Perempuan boleh memandang laki-laki secara beradab dan menahan pandangannya, juga tak melihat aurat laki-laki yang tentu saja diharamkan. Berhubungan dengan hal ini, al-Qaradhawi melalui bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, mendukung argumentasinya dengan hadis Nabi Muhammad.

Ia mengatakan, Imam Ahmad dan imam lainnya meriwayatkan hadis dari Aisyah, yang menjelaskan bahwa Aisyah memandang pada laki-laki. Menurut Aisyah, orang-orang Habsyi pernah bermain-bermain di sebelah rumah Rasulullah saat hari raya. Ia melihat mereka dari atas pundak Rasul.

Beliau merendahkan pundaknya karena saya. Saya melihat mereka dari pundak beliau sehingga saya puas kemudian saya berpaling, ujar Aisyah. Menurut al-Qaradhawi, sebagian golongan Syafiiyah berpandangan, laki-laki tak boleh memandang perempuan dan perempuan pun tak boleh memandang laki-laki.

Pandangan mereka bersandar pada hadis riwayat Tirmidzi yang berasal dari Ummu Salamah dan Maimunah, keduanya istri Nabi Muhammad. Dalam hadis itu, Rasulullah memerintahkan Ummu Salamah dan Maimunah berhijab dari Abdullah bin Ummi Maktum. Keduanya merespons, Bukankah dia tunanetra yang tak dapat melihat kami? Rasul balik bertanya kepada mereka, Apakah kamu berdua tunanetra?

Bukankah kamu berdua dapat melihat?Al-Qaradhawi mengungkapkan, hadis ini tak dapat menjadi dasar bagi mereka yang menegaskan bahwa perempuan tak boleh memandang laki-laki, demikian pula sebaliknya. Alasannya, hadis itu tak luput dari cela, yaitu dari sisi sanad dan dilalahnya. Hadis ini tak mencapai derajat seperti hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Shahihain yang mengizinkan perempuan memandang laki-laki. Pada intinya, perempuan boleh memandang laki-laki, bukan pada bagian auratnya.

Mayoritas ahli fikih menetapkan aurat laki-laki itu adalah bagian antara pusar dan lutut. Sedangkan, ba gian lainnya, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, be tis, dan bagian lainnya, boleh dipandang. Namun, te tap saja ada batasan yang harus dipatuhi perempuan, yaitu tak memandang laki-laki dengan disertai nafsu.

Jika seorang perempuan melihat laki-laki lalu timbul hasrat, mestinya perempuan itu menahan pandangannya. Jangan malah meneruskan keinginan nafsunya itu. Inilah yang dianggap sebagai pandang an yang menuntun pada perzinaan yang sebaiknya dihindarkan oleh perempuan.

Imam Ibnul Qayyim al-Jawziyah dan al-Mundziri yang dikutip Haya binti Mubarok al-Barik dalam bukunya, Ensiklopedi Wanita Muslimah, menyatakan, perempuan yang menahan pandangan akan memetik sejumlah manfaat. Dengan menahan pandangan, perempuan telah mematuhi perintah Allah.

Selain itu, menahan pandangan pun akan menguat kan dan membuat hati bahagia. Sebaliknya, hati perempuan yang mengumbar pandangannya akan diserang kegelisahan, sebab hatinya tak dapat lepas dari syahwat. Pilihan menahan pandangan membuat perempuan mengosongkan hatinya dari kemaksiatan, ujar Haya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement