Ahad 18 Oct 2015 10:48 WIB

Bolehkah Muslimah Meninggikan Bacaan Shalat?

Muslimah Papua tengah melaksanakan shalat berjamaah di Islamic Center Al Aqsa, Walesi, Jayawijaya, Papua, Jumat (25/9).
Foto: ROL/Agung Sasongko
Muslimah Papua tengah melaksanakan shalat berjamaah di Islamic Center Al Aqsa, Walesi, Jayawijaya, Papua, Jumat (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama Islam memuliakan kaum wanita dan memberikan mereka kewajiban dan tanggung jawab yang sepadan dengan laki-laki. Meski demikian, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam Fatawa Ma'ashirah, kehormatan kaum wanita terkadang diingkari oleh sebagian orang.

Di antara pengingkaran itu berupa pernyataan bahwa suara wanita adalah aurat. Karenanya, seorang wanita tidak sepatutnya berbicara dengan laki-laki selain suami dan muhrimnya. Kemerduan suaranya dianggap dapat membangkitkan syahwat dan menyebabkan fitnah. Padahal, kata Syekh al-Qaradhawi, mereka yang menyatakan hal itu tidak punya dalil apapun.

Bukti bahwa suara wanita tidak termasuk aurat didasarkan pada ajaran Alquran yang membolehkan laki-laki Muslim bertanya kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW dari balik tabir. ...Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir... (QS al-Ahzab [33]: 53).

Menurut Syekh al-Qaradhawi, permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum Mukmin, yaitu istri-istri Nabi SAW). Mereka biasa memberikan fatwa kepada orang-orang yang meminta fatwa. 

Meski begitu, lanjut al-Qaradhawi, ada pula model pembicaraan wanita yang dilarang oleh Alquran. Yaitu al-khudu' bi al-qaul (memikat dalam berbicara). Atau pembicaraan yang diniatkan untuk menarik perhatian ataupun menggoda laki-laki yang bukan muhrim.

Firman Allah, Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 32). 

Ayat tersebut melarang bicara yang membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya berpenyakit. Namun tidak berarti Alquran melarang semua pembicaraan kaum wanita dengan laki-laki. Yang diperintahkan adalah berbicara dengan perkataan yang baik, seperti termaktub pada akhir ayat, Dan ucapkanlah perkataan yang baik. 

Suara dalam Shalat

Atas dasar dalil-dalil itu, kitab Fikih 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah (Fikih Berdasarkan Pendapat Empat Mazhab) secara jelas menyebutkan, suara kaum wanita bukanlah aurat. Para Imam Mazhab yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat bahwa suara wanita tidak termasuk aurat. Namun demikian, mereka berbeda pendapat soal tinggi rendahnya suara wanita di dalam shalat. 

Menurut para ulama dari Mazhab Maliki, batas maksimal tingginya suara wanita dalam shalat adalah jika yang bersangkutan telah bisa mendengarkan suaranya sendiri. Sedangkan bacaan terendahnya adalah dengan tergeraknya lidah.

Pendapat ulama dari Mazhab Syafi'i juga senada. Menurut mereka, seorang wanita tidak diperbolehkan meninggikan suaranya dalam shalat apabila di dekatnya ada seorang laki-laki (bukan muhrim) atau lebih. Sedangkan batas suara rendahnya, jika yang bersangkutan bisa mendengarkan suaranya sendiri.

Adapun pendapat ulama Mazhab Hanbali, seorang wanita tidak disunahkan mengangkat suara dalam bacaan-bacaan shalat, meskipun di sekitarnya tidak ada laki-laki yang bukan muhrimnya. Dan kalau di dekatnya ada laki-laki yang bukan muhrim, maka meninggikan bacaan shalat hukumnya dilarang.

Pendapat yang berbeda dilontarkan ulama dari Mazhab Hanafi. Menurut mereka, seorang wanita boleh meninggikan bacaan shalat hingga orang-orang di dekatnya dapat mendengar suaranya. Bahkan, menurut mazhab ini, orang-orang yang berada di barisan shaf pertama harus mendengar suaranya. Satu atau dua orang saja yang mendengar, belumlah cukup. Karenanya, seorang Muslimah dibolehkan membaca bacaan shalat dengan suara setinggi-tingginya.

Sedangkan dalam shalat yang mengharuskan suara rendah, ia harus mendengar suaranya sendiri, atau didengar oleh satu atau dua orang di dekatnya. Sekedar menggerakkan lidah saja, menurut ulama mazhab ini, belumlah cukup. Dengan demikian, sebagai konsekuensi bahwa suara wanita tidak termasuk aurat, maka seorang wanita boleh meninggikan suaranya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement