Senin 07 Jan 2019 20:10 WIB

KH Cholil Nafis: Pelaku Hoaks Adalah Munafik

Masyarakat diimbau bijak bermedia sosial dengan pedoman Fatwa Medsos MUI 2017.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan masyarakat, Muhammad Cholil Nafis
Foto: Republika TV/Fian Firatmaja
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan masyarakat, Muhammad Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Makin maraknya hoaks belakangan ini di jagad maya memicu keprihatinan sejumlah kalangan. Hoaks tentu berseberangan dan ajaran Islam yang luhur. Lantas bagaimana sanksi bagi mereka yang terlibat dalam lingkaran hoaks? 

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan hukuman pembohong atau pembuat hoaks dalam Islam itu memang tidak ditentukan secara pasti. Namun, kata dia, pemberatan hukuman tetap dibutuhkan untuk menimbulkan efek jera yang dalam teori hukum Islam dikenal dengan prinsip az-zawajir wa al-mawani’ (penjera dan pencegah). 

Karena itu, menurut dia, hukuman terhadap pembuat hoaks tergantung pada efek kebohongan yang telah dibuatnya.

"Karena itu kadar hukumannya tergantung kepada kadar efeknya, efek dari kebohongannya," ujar Kiai Cholil kepada Republika.co.id, Senin (7/1). 

Di samping itu, lanjut dia, Rasulullah SAW juga bersabda di antara tanda-tanda orang munafik adalah ketika berbicara, dia berbohong. Karena itu, orang yang membuat hoaks sejatinya adalah orang munafik dan orang munafik akan dimasukkan Allah ke neraka. 

"Manusia ini kan yang bisa dipegang adalah mulutnya atau ucapannya. Maka ketika ucapannya tidak bisa dipegang, manusia itu tidak bisa lagi dipercaya," ucap Kiai Cholil. 

Dia mengingatkan agar masyarakat bisa menyaring dan bijak menyikapi banyaknya hoaks, khususnya di tahun politik ini. 

Untuk bijak di media sosial, Kiai Cholil mengimbau kepada umat untuk berpedoman pada Fatwa Medsosiyah yang dikeluarkan MUI pada 2017 lalu. 

"Tahun 2017 MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang hoaks bahwa di situ ada pedoman fikih medsosiyah,  yaitu fikih di dalam bermedia sosial, di antaranya kita harus menverifikasi kebenaran dari berita itu," kata Kiai Cholil.  

Menurut dia, umat  harus jeli dalam menyaring sebuah informasi di media sosial. Karena itu, ketika ada sebuah berita harus dipikirkan terlebih dahulu apakah berita itu bisa dibagikan kepada nitizen atau cukup menjadi konsumsi pribadi saja. 

"Jadi ketika memberikan berita itu kepada orang lain, maka pastikan bahwa berita itu mengandung manfaat, bukan mudharat," jelasnya. 

Jika memang berita itu ada manfaatnya tentu diperbolehkan untuk disebarkan kepada orang lain, bahkan dianjurkan. 

Tapi, kata dia, ketika berita itu tidak mengandung manfaat kepada publik, maka tidak perlu disebarkan walaupun itu benar. "Itu ada dalam fatwa pedoman bermedia sosial di dalam Fatwa MUI," ucapnya. 

Kiai Cholil mengatakan, di zaman media sosial ini jangan sampai umat Islam juga menjadi bagian dari penebar hoaks. 

Karena, menurut dia, terkadang masyarakat masih banyak yang terbawa emosi ketika mendapatkan berita, sehingga disebarkan tanpa dipikirkan lebih dulu.  

"Ketika menerima berita, berhenti sejenak untuk bernafas. Kira-kira ini benar atau tidak. Seringkali kita terpancing karena sama dengan emosi kita. Karena itu kita bernafas sejenak, kita kroscek, dan itu tadi pedomannya," tutupnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement