Sabtu 25 Aug 2018 18:25 WIB

Fatwa Mubah Vaksin MR

Nabi SAW pernah meminta suku Uraniyyin untuk meminum air seni unta untuk obat.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agung Sasongko
Petugas kesehatan memberikan vaksin Measles Rubella (MR) kepada siswa saat Kampanye Imunisasi Campak dan MR di SMPN 9, Bandung, Jawa Barat (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petugas kesehatan memberikan vaksin Measles Rubella (MR) kepada siswa saat Kampanye Imunisasi Campak dan MR di SMPN 9, Bandung, Jawa Barat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)menetapkan Fatwa Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin Measles Rubella (MR) dari Serum Institute of India (SII) untuk Imunisasi. Menurut Komisi Fatwa MUI, vaksin MR mengandung unsur ha ram, tapi saat ini boleh digunakan.

Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Hasanuddin AF, mengatakan, ketentuan hukum penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya adalah haram. Penggunaan vaksin MR produk dari SII hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi.

Hanya, penggunaan vaksin MR produk dari SII pada saat ini dibolehkan atau mubah karena ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar'iyyah. Mengingat belum ditemukan vaksin MR yang ha lal dan suci. Ia menerangkan, penggunaan vaksin MR pada saat ini dibolehkan karena ada keterangan dari ahli yang kompeten serta dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi. Hanya, kebolehan penggunaan vaksin MR tidak berlaku jika sudah ditemukan ada vaksin lain yang halal dan suci.

Komisi Fatwa MUI merekomendasikan, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan menyertifikasi halal produk vaksinnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prof Hasanuddin juga mengatakan, pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal melalui Badan Kesehatan Dunia WHO dan negara-negara berpenduduk Muslim. MUI meminta mereka memperhatikan kepentin gan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci serta halal.

Vaksin merupakan produk yang berisi antigen berupa mikroorganisme. Pertimbangan hukum juga mengaitkan hal darurat, yak ni kondisi keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan akan mengancam jiwa manusia. Kemudian menimbang al-hajatyang me rupakan kondisi terdesak sehingga menyebabkan penyakit berat atau cacat pada seseorang.

Fatwa MUI No 4/2016 menjelaskan, ketentuan hukum imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.

Sementara, penggunaan vaksin imunisasi berbahan haram dan najis hukumnya adalah haram. Meski demikian, MUI memberi pengecualian terhadap hukum haram tersebut, yakni digu- nakan pada kondisi darurat.

MUI pun menyandarkan fatwa tersebut kepada dalil Al quran, yakni Barang siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan ma nusia semuanya, (QS al-Maidah:32). Dalam ayat ini, Allah SWT me nekankan keutamaan seseorang yang bisa mengobati manusia lainnya. Hanya, Allah SWT juga menjelaskan, apa yang dikonsumsi hendaklah bersifat halal.

Hai sekalian manusia, makan lah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesung guhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS al- Baqarah:168).

Allah SWT juga memerintahkan kita untuk memiliki anak yang kuat. Untuk itu, anak harus kita jaga dari segala macam penyakit. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan per kataan yang benar. (QS an- Nisa: 9). Begitu pun dari keterangan yang bersumber dari hadis. Dari Abu Darda, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram. (HR Abu Dawud).

Hanya saja, beberapa kaidah fikih, yakni mencegah lebih utama daripada menghilangkan. Semen tara, dharar(bahaya) harus dicegah sedapat mungkin. Dharar juga harus dihilangkan. Kaidah fikih lainnya, yakni kondisi hajah menempati kondisi darurat. Semen tara itu, darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. Sementara itu, sesuatu yang diboleh kan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)nya.

Pendapat Muhammad al- Khathib al-Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtajyang menje- laskan kebolehan menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat ketika belum ada ben da suci yang dapat menggantikannya: Fatwa tentang Penyelenggaraan Imunisasi 6 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya (Muhammad al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al- Muh taj, [Bairut: Dar al-Fikr]).

Imam Syihabuddin al-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj juz 1 halaman 243 berpendapat: Adapun perintah Nabi Muhammad SAW kepada suku Uraniyyin untuk meminum air kencing unta itu untuk kepentingan berobat, maka ini dibolehkan sekalipun ia najis, kecuali khamr. Walahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement