Rabu 08 Aug 2018 15:12 WIB

Perempuan Mengajar Lelaki, Bolehkah?

Banyak juga perawi hadis berasal dari kalangan wanita.

Muslimah di AS
Foto: VOA
Muslimah di AS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan menjadi salah satu alat untuk mengangkat derajat seseorang. Kesempatan mengakses pendidikan saat ini juga terbuka untuk siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bukan hanya sebagai anak didik, tapi sudah banyak pendidik sukses datang baik laki-laki maupun perempuan.

Jika dilihat dari kacamata Islam, apakah boleh pendidik perempuan mengajar anak didik laki-laki? Atau sebaliknya, anak didik perempuan diajar pendidik laki-laki?

Menurut Lembaga Fatwa Mesir, hukum seorang perempuan belajar dari guru laki-laki atau seorang lelaki belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam syariat. Hukum yang berlaku di kalangan kaum Muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tidaklah diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri.

Tetapi yang membuat perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang bertentangan dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti jika perempuannya menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk kemungkaran, atau mereka berdua dalam keadaan khalwat.

Para ulama menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat yang diharamkan disebabkan oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri adalah jika lelaki dan perempuan saling menempel dan saling bersentuhan, bukan murni karena keberadaan seorang lelaki dan perempuan di satu tempat.

Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi Ra ia berkata, "Ketika Abu Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi pernikahan, dia mengundang Nabi SAW dan para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu Usaid."

Imam Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan "Bab Perempuan Melayani Kaum Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara Langsung". Al-Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya, "Para ulama kami (mazhab Maliki) berkata; 'Hadis ini menunjukkan kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan dalam acara resepsi pernikahannya'."

Dalam Syarah Al-Bukhari, Ibnu Baththol berkata, "Hadis ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan lelaki dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib bagi para wanita mukmin." Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi SAW. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran, "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (QS al-Ahzab [33]: 53).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, "Hadis ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan melayani suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga auratnya dalam keadaan tertutup. Hadis ini juga menunjukkan kebolehan seorang suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu."

Kebolehan bertemu dengan lawan jenis yang bukan mahram menurut Lembaga Fatwa Mesir juga dinisbahkan kepada kisah Salman dan Abu Darda. Keduanya dipersaudarakan oleh Nabi SAW. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda. Ia bertemu dengan Ummu Darda yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi denganmu?" Ia menjawab, "Saudaramu, Abu Darda, tidak lagi menyukai dunia." Sebentar kemudian, Abu Darda muncul dan membuatkan Salman makanan", dan seterusnya.

Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul Bari berkata, "Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah, (antara lain) kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang sesuatu yang mendatangkan maslahat."

Sementara kebolehan perempuan mengajar ilmu syariat kepada laki-laki juga sudah dicontohkan oleh istri Nabi SAW. Mereka mengajarkan ilmu dan menyebarkan agama kepada siapa saja. Banyak juga perawi hadis berasal dari kalangan wanita. Mereka menyebarluaskan kepada para perawi lain dari kalangan laki-laki.

Dalam kitab al-Ishobah fî Tamyiz ash-Shohabah, Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutkan bahwa biografi seribu lima ratus empat puluh tiga (1543) perawi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama hadis, dan sastrawan.

Para wanita Muslimah pada zaman Nabi SAW selalu berpartisipasi dengan kaum laki-laki dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab Islami. Bahkan, ada di antara para wanita sahabat Nabi SAW menjadi penanggung jawab hisbah (polisi syariat). Seperti diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dari Abu Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata, "Saya melihat Samra binti Nuhaik memakai pakaian perang dan kerudung yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar."

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement