Jumat 29 Jun 2018 15:50 WIB

Zakat Mal untuk Bantuan Hukum, Bolehkah?

Tidak mudah bagi setiap orang saat berhadapan dengan hukum.

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Hukum
Hukum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Tidak mudah bagi setiap orang saat berhadapan dengan hukum. Terlebih, bagi kaum dhuafa. Tanpa pengetahuan dan dana yang mumpuni, tak jarang mereka harus menjadi pesakitan di depan meja hijau.

Untuk mendapat pembelaan, bukan perkara mudah. Terlebih, secara ekonomi mereka tergolong lemah. Mereka membutuhkan biaya tidak sedikit untuk membayar penasihat hukum atau pengacara untuk mengajukan perlawanan hukum.

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Bantuan hukum tidak sekadar untuk menangani sebuah perkara di persidangan. Akan tetapi, bisa lebih luas, yaitu mengarah pada upaya perubahan sistem hukum, sosial, ekonomi, dan budaya serta upaya penyadaran masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dalam memperoleh keadilan, baik melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi.

Dengan upaya itu, diharapkan ada perbaikan sistem hukum yang lebih berkeadilan. Dari sisi aturan hukum, sudah ada jaminan pemenuhan kebutuhan layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu yang sedang berhadapan dengan hukum.

Pasal 56 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa negara melalui penegak hukum wajib menyiapkan pembela untuk setiap tersangka yang memerlukan bantuan hukum dengan biaya yang ditanggung oleh negara. Akan tetapi, sering kali kebutuhan riilnya tidak mencukupi, sehingga masih membutuhkan tambahan biaya.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta melalui suratnya mengajukan pertanyaan (mustafti) ke pada Mejelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai kebolehan penggunaan zakat untuk kepentingan bantuan hukum kepada masyarakat. LBH Jakarta mempertanyakan hukum dana zakat mal dimanfaatkan untuk kepentingan bantuan hukum dan hukum dana zakat mal dimanfaatkan untuk kepentingan advokasi sistem perundang-undangan agar sesuai dengan syariah dan prinsip keadilan.

Dalam Ijtima Alim Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI Ta hun 2018 tentang Masalah Fikih Kontemporer di Kalimantan Selatan, Mei lalu, diputuskan hukum penyaluran zakat mal untuk kepentingan layanan bantuan hukum adalah boleh dengan beberapa ketentuan.

Penerima bantuan hukum tersebut beragama Islam, penerima zakat untuk bantuan hukum merupakan orang yang terzalimi (madzlum) dan bantuan hukum tersebut tidak diberikan atas kasus yang bertentangan dengan agama.

Penyaluran zakat tersebut, yakni harus masuk ke dalam delapan asnaf, di antaranya, fakir, mis kin, dan/atau terlilit utang (gharimin) yang kasusnya tengah diproses. Lebih lanjut, ijtima mengungkapkan, pembelaan kasus hukum yang terkait dengan kepentingan Islam dan umat Islam, penyaluran zakat dapat dimasukkan ke golongan (asnaf) fi sabilillah.

Sementara itu, penyaluran zakat untuk kepentingan membangun sistem hukum yang berkeadilan dibolehkan melalui asnaf fi sabilillah.

Menurut ijtima, pembangunan sistem hukum yang berkeadilan yang dapat dibiayai dengan dana zakat sebagaimana yang dimaksud ditujukan untuk menjamin tegaknya aturan yang sesuai dengan ajaran Islam. Menjamin kemaslahatan umum (maslahah 'ammah), perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta hingga serta mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan agama.

Alquran mencantumkan tentang tujuan berzakat dalam QS ar-Rum ayat 39. "Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."

Mengenai siapa saja yang boleh menerima zakat, terdapat dalam QS at-Taubah ayat 60. Golongan penerima zakat atau mustahik biasa disebut dengan delapan asnaf. "Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hati nya, untuk (memerdekakan) bu dak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orangorang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS at-Taubah ayat 60).

Pendapat Imam al-Maraghi dalam kitab Tafsir al-Maraghi Ji lid IV halaman 145, "Sabilillah ialah jalan yang menuju kepada ridha Allah dan meraih pahala- Nya. Yang dimaksud sabilillah ialah orang-orang yang berperang dan 66 berjaga-jaga untuk pe rang. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad RA memasukkan haji da lam arti sabilillah, juga segala usa ha ke arah kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun jembatan dan benteng, memakmurkan masjid, dan lain sebagainya."

Pendapat Imam Ibnu Taimi yah dalam kitab Majmu Fatawa (25/82) yang menyatakan kebolehan mengeluarkan zakat dengan yang senilai jika ada kemaslahat an bagi mustahik, sebagai ber ikut, "Adapun mengeluarkan ni lai dari objek zakat karena ada nya hajat (kebutuhan) serta kemaslahatan dan keadilan maka hukumnya boleh… seperti adanya permintaan dari para mustahik agar harta zakat diberikan kepada mereka dalam bentuk nilainya saja karena lebih bermanfaat maka mereka diberi sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Demikian juga kalau amil zakat memandang bahwa pemberian–dalam bentuk nilai–lebih bermanfat kepada kaum fakir." Walla hu alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement