Selasa 10 Apr 2018 05:03 WIB

Menjaga Aurat dalam Interaksi Sosial, Seperti Apa?

Menutup aurat dengan pakaian yang sopan merupakan salah satu caranya.

Rep: Heri Ruslan/ Red: Agung Sasongko
Muslimah (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika
Muslimah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan modern begitu dinamis. Intensitas pertemuan antara laki-laki dan perempuan sulit untuk dihindari. Kedua pihak bahkan tak jarang saling membutuhkan untuk bekerja sama dalam banyak bidang.

Seorang ulama terkemuka,  Syekh Yusuf al-Qaradhawi, mengemukakan, pertemuan antara laki-laki dan perempuan justru diperlukan apabila bertujuan untuk kebaikan. Misalnya, tutur Syekh al-Qaradhawi, untuk urusan pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat.   

Lantas, bagaimanakah cara seorang Muslimah bersikap agar tetap terjaga kehormatannya dalam interaksi itu?  Syekh al-Qaradhawi mengingatkan, kebolehan interaksi antara laki-laki dan perempuan tidak berarti bahwa batas-batas di antara keduanya menjadi lebur. Menurutnya, dalam keadaan ini aturan-aturan syariah tidak boleh ditinggalkan.

Menutup aurat dengan pakaian yang sopan merupakan salah satu cara yang ditetapkan syariah. Cara yang demikian, menurut  Syekh al-Qaradhawi, bisa memaksa pihak laki-laki bersikap sopan dalam perilaku dan penglihatan terhadap Muslimah yang bersangkutan.

Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya Kebebasan Wanita, menjelaskan secara perinci hal-hal yang mesti dijaga oleh para Muslimah ketika berinteraksi dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Pertama, ia harus menutup seluruh tubuhnya kecuali, wajah, tangan, dan kaki.

Kedua, sederhana dalam menghiasi pakaian, wajah, tangan, dan kaki. Ketiga, pakaian yang dikenakan harus dikenal oleh masyarakat Islam. Keempat, harus berbeda dengan pakaian laki-laki. Dan kelima, harus berbeda dengan wanita non-Muslim.

Para imam mazhab pun, sejak periode awal persebaran Islam telah membincangkan masalah aurat perempuan dengan cukup detil. Mereka memberikan batasan aurat Muslimah ketika sedang sendiri, ketika berinteraksi dengan laki-laki non-muhrim dan wanita non-Muslimah, juga ketika bersama laki-laki yang muhrim.

Jika seorang Muslimah sedang sendirian, menurut ulama dari Mazhab Hanbali, ia boleh memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya, kecuali bagian tubuh dari lutut hingga pusar. Batasan itu pula yang berlaku ketika ia bersama dengan wanita lain baik yang Muslimah maupun yang non-Muslimah. 

Adapun aurat Muslimah terhadap muhrimnya yang laki-laki adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah, leher, kepala, dua tangan, telapak kaki dan betis. Sedangkan aurat wanita terhadap laki-laki yang non-muhrim meliputi wajah dan dua telapak tangan.

Imam Malik juga berpendapat demikian. Wajah, menurutnya, tidak termasuk aurat saat berhadapan dengan laki-laki yang bukan muhrim. Disebutkan dalam kitab al-Muwaththa', Imam Malik pernah ditanya, ‘’Bolehkah wanita makan bersama laki-laki yang bukan muhrimnya atau pembantu laki-lakinya?’’ Ia menjawab, “Tidak mengapa yang demikian itu, apabila menurut cara yang dikenal bagi wanita untuk makan bersama laki-laki.”

Ia menambahkan, Kadang-kadang wanita makan bersama suaminya dan bersama orang lain yang makan bersamanya, atau bersama saudara laki-lakinya,”. Terdapat penjelasan bahwa Imam Malik membolehkan wanita makan dengan laki-laki lain apabila tidak berdua-duaan, tetapi harus dengan suami atau saudara laki-lakinya, dan ia menampakkan wajah dan kedua tangannya.   

Sedangkan pendapat ulama Mazhab Maliki tentang aurat wanita terhadap laki-laki muhrimnya adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan ujung-ujung badan, yaitu kepala, leher, dua tangan dan kaki.

Imam Asy-Syafi'i punya pendapat berbeda dengan kedua imam mazhab tersebut. Seperti diungkapkan Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam Fiqhu al-Mar'ah al-Muslimah, Asy-Syafi'i berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita termasuk aurat di hadapan laki-laki yang bukan muhrim.

Perhatian ulama-ulama mazhab pada masalah aurat ini bertujuan untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan seorang Muslimah di mata orang lain. Penting untuk diperhatikan di sini pula, bahwa para ulama mazhab itu tidak menetapkan bentuk dan model pakaian tertentu bagi umat Islam. Mereka hanya menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi.

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, semua bentuk dan model pakaian dibolehkan sesuai dengan adat dan kebiasaan masing-masing tempat. Islam sendiri tidak merombak tradisi jahiliah dalam hal pakaian, melainkan memasukkan unsur keseimbangan saja. Misalnya, pakaian harus longgar, dan jika memakai jilbab harus dapat menutupi bagian leher hingga  dadanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement