Jumat 13 Oct 2017 10:03 WIB

Hukum Mengonsumsi Air Daur Ulang

Anak meminum air. Ilustrasi
Foto: AP
Anak meminum air. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Industri air isi ulang marak di lingkungan sekitar. Kebutuhan warga akan air bersih membuat usaha atau bisnis air daur ulang dengan galon tetap hidup di masyarakat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pernah melansir ada sekitar 3.500 depot air isi ulang di Jakarta dan sekitarnya. Dari 20 sampel yang diteliti YLKI, ada enam depot yang memiliki produk air isi ulang yang mengandung bakteri karena pengelolaannya tidak higienis.

Selain higienitas, banyak juga yang mempertanyakan kehalalan air isi ulang. Mengingat, air tersebut kemungkinan bersumber dari air yang terkena najis, seperti bangkai hingga kotoran. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 02 Tahun 2010 tentang air daur ulang menjelaskan mengenai bagaimana sebenarnya boleh tidaknya mengonsumsi air daur ulang.

Dilansir dari fatwa MUI tersebut, hukum dasar air adalah suci. Kecuali ada hal yang mengubah sifatnya. Dari Abi Umamah RA bahwa Nabi SAW bersabda. "Sesungguhnya air itu suci dan tidak ada yang menajiskannya kecuali sesuatu yang mengubah bau, rasa, dan warnaya." (HR Ibn Majah).

Sementara, hadis lain yang bersumber dari Abi Sa'id al Khudri RA juga mengutip sabda Rasulullah SAW saat ditanya, "Apakah kami berwudhu dari sumur budla'ah, yaitu sumur yang digunakan orang-orang membuang darah haid, bangkai anjing, dan kotoran? Rasulullah SAW pun menjawab: "Sesungguhnya air itu suci-menyucikan, tidak ada sesuatu yang menajiskannya." (HR Imam Tiga dan disahihkan oleh Imam Ahmad).

Dalam hadis yang berasal dari Umar bin Khatab, Nabi SAW juga pernah ditanya tentang air dan yang terkena binatang ternak serta buas. Rasulullah pun bersabda: "Apabila air telah mencapai dua kullah maka tidak mengandung najis" (HR Al Hakim). Dua kullah jika dihitung dalam ukuran saat ini berkisar 270 liter.

Para ulama pun sudah menyusun mengenai tata cara penyucian air yang terkena najis. Salah satu di antaranya disusun oleh Imam al-Syirazi dalam kitab al-Muhazzab. Menurut Imam al-Syirazi, untuk menyucikan air yang najis maka harus dilihat dari jumlah dan sifat air.

Jika najis mengubah sifat air dan jumlahnya lebih dari dua kullah maka bisa disucikan. Caranya, yakni dengan menghilangkan penyebab berubahnya air (bau, rasa, warna), menambahkan air atau mengambil sebagiannya. Air tersebut menjadi suci karena yang menyebabkan air tersebut menjadi najis karena berubah dan sifatnya sudah dihilangkan.

Jika dimasukkan debu atau gamping di dalam air najis tersebut kemudian hilang perubahannya, maka ada dua pendapat berbeda. Imam Syafii menyatakan dalam al Umm bahwa air tersebut tidak suci. Sebagaimana kasus menyucikan air dengan memberi kapur atau minyak wangi yang menyebabkan hilangnya bau najis. Pendapat kedua sebagaimana dalam kitab al Harmalah menyatakan air dengan sifat tersebut menjadi suci.

Pendapat kedua ini terjadi karena berubahnya air telah hilang sehingga menjadi seperti sedia kala sebagaimana seandainya hilang berubahnya air dengan sendirinya atau dengan air lainnya. Hal ini berbeda dengan kasus air najis yang ditambahkan kapur barus dan minyak wangi. Bisa jadi baunya masih tetap, tapi tidak sucinya karena aroma kapur dan minyak wangi yang lebih kuat.

Jika jumlah airnya mencapai dua kullah, najis tersebut menjadi suci dengan proses penyucian sebagaimana disebutkan kecuali dengan proses pengambilan sebagiannya. Proses ini tidak bisa menyucikan karena mengurangi jumlah air menjadi kurang dua kullah dan mengandung najis. Jika air yang najis sedikit, misalnya kurang dari dua kullah, bisa disucikan dengan menambah air hingga dua kullah.

Bisa juga dengan cara mukatsarah, yaitu menambahkan air walau kurang dari dua kullah seperti tanah yang terkena najis jika disiram air hingga hilang najisnya. Hanya, salah satu ulama bermazhab Syafi'i memang menolak itu. Menurut dia, air tersebut tidak bisa menjadi suci karena banyaknya air kurang dari dua kullah, sedangkan di dalamnya terdapat najis.

Dalam fatwanya, MUI mengungkapkan, air daur ulang yang masuk dalam pembahasan ini adalah air hasil olahan (rekayasa teknologi) dari air yang telah digunakan atau terkena najis atau yang telah berubah salah satu sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau. Air tersebut diolah sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

Air daur ulang diproses melalui salah satu dari tiga cara sebagai berikut. Pertama, thariqat an-nazh, yakni pengurasan air yang terkena najis atau telah berubah sifatnya. Sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya.

Kedua, thariqah al-mukatsarah, yakni dengan cara menambahkan air suci lagi menyucikan pada air yang terkena najis  atau berubah hingga mencapai volume paling kurang dua kullah, yakni 270 liter. Serta najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang.

Terakhir dengan cara thariqah taghyir. Yaitu, mengubah air yang terkena najis atau telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi menyucikan. Syaratnya, volume air lebih dari dua kullah dan alat bantunya harus suci.

Menurut MUI, air daur ulang yang diproses dengan cara tersebut boleh dipergunakan untuk berwudhu, mandi, menyucikan najis dan istinja, serta halal diminum. Air digunakan untuk memasak dan untuk kepentingan lainnya selama tidak membahayakan kesehatan. MUI pun meminta agar pemerintah dan semua pihak yang mengelola daur ulang air serta seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan mutu dan kualitas. 

(Tulisan ini diolah oleh A Syalaby Ichsan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement