Kamis 21 Sep 2017 23:17 WIB

Pencitraan Diri dalam Adab Islami. Seperti Apa?

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hakikatnya, tidak ada orang yang benar-benar suci dari dosa. Sabda Nabi SAW, "Setiap anak cucu Adam tidak lekang dari kesalahan. Dan sebaik-baiknya dari mereka yang salah adalah yang bertobat." (HR Ibnu Majah). 

Az-Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kassyaf (5/646) berpesan, soal kesucian dan ketakwaan hanya hak Allah untuk menilainya. Seseorang hanya diperintahkan untuk taat dan menjauhkan diri dari maksiat.

Pengkultusan calon kepala daerah sebagai orang saleh, orang suci, dan sebagainya adalah bentuk pelanggaran etika Islami. Cukup menyebutkan program-program kerja dan hasil kerja nyata yang telah diraihnya tanpa bermaksud sombong atau riya. Biarkan khalayak yang menilai, apakah benar dia orang saleh atau tidak. 

Di samping itu, setiap pencapaian keberhasilan dan lahirnya suatu karya yang diraih hendaklah disandarkan kepada Allah SWT. Menyebut suatu keberhasilan karena kepintaran dan keuletan diri sendiri adalah bentuk angkuh kepada Allah SWT. Sejatinya, apa pun keberhasilan yang diraih manusia karena hidayah dan taufik dari Allah SWT.

 

Setiap pujian yang tertuju kepada calon kepala daerah yang diusung hendaklah ia kembalikan kepada Allah SWT. Adab Islami selalu menyandarkan kebaikan kepada Allah dan keburukan disebabkan dosanya sendiri. Firman Allah SWT, "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah. Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri." (QS an-Nisa [4]: 79).

Lantas bagaimana dengan pencitraan dalam bentuk perbuatan seperti blusukan ke masyarakat kelas bawah, menyantuni kaum dhuafa, melakukan kegiatan amal, dan sebagainya? Apakah pencitraan seperti ini boleh dilakukan? Hal ini kembali kepada niat orang yang melakukannya. 

Sabda Nabi SAW, "Amal itu bergantung pada niatnya, bagi seseorang (yang beramal) mendapatkan apa yang ia niatkan." (HR Bukhari Muslim). Jika seluruh amal kebaikan hanya diniatkan untuk meningkatkan popularitas dan dikenal sebagai orang baik, tak ada nilai ibadahnya. Seluruh yang ia lakukan bernilai riya dan menjadi dosa di sisi Allah SWT. 

Tetapi, jika amal yang dia lakukan tulus ikhlas mengharap ridha dari Allah SWT, tentu saja bernilai pahala di sisi Allah SWT. Orang lain tak bisa menilai apakah amal tersebut ikhlas atau tidak. Hanya hatinya dan Allah SWT yang lebih mengetahui.

pSyariat Islam mengharamkan seseorang melakukan amal saleh jika berorientasi untuk mendapatkan manfaat duniawi. Perilaku tersebut merupakan ciri dari kaum munafik. Al-Qadhi Ibnu Atiyyah dalam kitab Al-Muharrar al-Wajiz (5/205) menyebut bentuk pencitraan yang dilakukan calon pemimpin yang tengah berkampanye demi meraih simpati masyarakat. Tujuannya hanya untuk mendapatkan bangku kekuasaan.

Namun, jika amal kebaikan yang dilakukan tersebut berujung pada pencitraan dirinya oleh orang lain dan dijadikan sebagai teladan dan panutan dalam masyarakat, hal ini boleh-boleh saja. Merupakan perkara yang makruf jika masyarakat memiliki figur orang saleh dan bisa diteladani dari sosoknya. Hal yang terpenting adalah niat ikhlas dari pemilik figur itu sendiri.

Amal kebaikan yang hanya berorientasi pada popularitas duniawi akan bermuara pada kehinaan nasib di akhirat. Pesan Nabi SAW dalam sabdanya, "Siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia, niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari kiamat." (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah). 

Jadi, pencitraan diri dalam adab Islami bukan tertuju untuk meraih popularitas duniawi, melainkan untuk meraih akhirat yang hakiki.

sumber : Dislog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement