Selasa 19 Sep 2017 14:34 WIB

Hak Cipta dalam Bahasan Syariah

Musisi yang juga Duta Hak Kekayaan Intelektual (HKI) 2015, Afgan Syah Reza bernyanyi saat hari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sedunia ke 15 di Kementerian Hukum dan Ham, Jakarta, Kamis (7/5). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Musisi yang juga Duta Hak Kekayaan Intelektual (HKI) 2015, Afgan Syah Reza bernyanyi saat hari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sedunia ke 15 di Kementerian Hukum dan Ham, Jakarta, Kamis (7/5). (Republika/Agung Supriyanto)

Istilah hak cipta sendiri memang tidak muncul dari kalangan Islam. Ketika zaman kekhalifahan Islam hingga masa keemasan Daulah Islamiyah, banyak sekali khazanah keilmuan Islam yang dijiplak Barat. Umat Islam tak terlalu mempersoalkannya ketika itu. Tak sedikit hasil penemuan yang diinisiasi orang Barat yang sebenarnya diambil dari ide-ide brilian umat Islam di Timur Tengah.

Barulah setelah tahun 1470, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dimulai di Venice, Italia. Mereka mengeluarkan UU HAKI pertama yang melindungi secara paten. Kaum ilmuwan, seperti Caxton, Galileo, dan Guttenberg bisa memonopoli produksi massal dan penjualan dari hasil penemuan mereka. Ide yang muncul di Italia ini kemudian diadopsi Inggris tahun 1623 dan terus berkembang ke seluruh dunia.

Jumhur ulama menyebutkan, syariat Islam mengakui adanya hak kepemilikan. Sebagaimana kepemilikan atas harta benda, demikian pula kepemilikan atas hasil karya. Apalagi, sebuah hasil karya intelektual yang didapatkan melalui kerja keras dan pengorbanan.

Misalkan, Islam membolehkan memungut upah atas jasa mengajarkan seseorang, bahkan mengajarkan Alquran sekalipun. Upah yang diberikan murid kepada guru bisa diistilahkan sebagai "transaksi jual beli ilmu". Seseorang tidak mungkin menjual apa yang tidak dimilikinya. Ini sebagai isyarat Islam adanya pengakuan Islam atas kepemilikan intelektual.

Demikian pula ketika ilmu tersebut dibukukan, disimpan dalam bentuk digital, diaudiovisualkan, dan seterusnya, ia boleh menjualnya sebagai properti komersial. Orang lain tidak boleh menasabkan (mengatasnamakan) ilmu tersebut pada selain pemiliknya. Pengatasnamaan kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan. Sebagaimana perlindungan kepemilikan berlaku pada barang, demikian juga berlaku pada ilmu yang bersifat maknawi.

Bisa juga diibaratkan dengan seseorang yang menemukan lahan baru. Sejatinya memang seluruh permukaan bumi adalah milik Allah SWT (QS al-Jatsiyah [45]: 37). Namun, bagi siapa yang menemukannya pertama kali, dialah yang berhak memiliki lahan tersebut. Hadis Rasulullah SAW, "Siapa yang mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak." (HR Darulqutni).

Sebagaimana hadis ini berlaku untuk benda, maka juga berlaku untuk nonbenda. Karena, keumuman lafaz hadis yang menyebutkan "sesuatu yang mubah". Jika ada yang menemukan suatu ilmu yang memang sejatinya milik Allah SWT, dialah yang berhak untuk memiliki dan mematenkan ilmu tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement