Selasa 21 Feb 2017 20:01 WIB

Jual Suara di Pilkada Demi Uang? Berpikirlah Berulang Kali

Petugas KPPS mengecek Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat pemilihan ulang Pilkada DKI Jakarta di TPS 01 Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta, Minggu (19/2).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Petugas KPPS mengecek Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat pemilihan ulang Pilkada DKI Jakarta di TPS 01 Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta, Minggu (19/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Musim pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan umum pada umumnya memang rawan penyimpangan, salah satunya adalah politik uang, menjual suara demi rupiah dengan imbalan mengarahkan hak suara coblosan untuk ‘si pembeli’.

Mengutip fatwa Dar al-Ifta’ Mesir, aktivitas jual beli suara tersebut hukumnya haram. Hukum ini berlaku tidak hanya untuk pemilik dana atau pihak yang menjual suara mereka, tetapi juga mencakup pula perantara (broker) yang menjadi penghubung antara kedua pihak tersebut. 

Aktivitas jual beli suara tersebut masuk dalam kategori suap-menyuap yang dilarang agama. Pelarangan ini antara lain merujuk hadis riwayat Tsauban RA yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW menyatakan Allah SWT melaknat penyuap dan penerima suap, serta perantara (raisy) antara keduanya. 

Prinsip dasar yang harus ditekankan dalam kegiatan semacam pilkada adalah fairness dan kejujuran. Tidak boleh menggunakan uang untuk merealisasikan ambisinya dengan memberikan iming-iming kepada pemilik suara. 

Atas dasar inilah, maka, hukum mengonsumsi uang hasil jual beli suara tersebut adalah haram dan termasuk memakan harta dengan cara batil. Jika memang sudah menerima, hendaknya segera mengembalikan uang itu. 

Yang diperbolehkan dalam agama, adalah menggunakan dana untuk kampanye, selama dalam batas dan koridor yang diperbolehkan oleh peraturan negara. 

    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement