Senin 14 Nov 2016 08:37 WIB

MUI: Hasil Gelar Perkara Kasus Ahok Jangan Timbulkan Kegaduhan Baru

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Massa dan kendaraan memadati kawasan Masjid Istiqlal jelang aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto: Antara
Massa dan kendaraan memadati kawasan Masjid Istiqlal jelang aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, bangsa Indonesia harus dapat keluar dari kemelut yang mengguncangkan serta merusak benih-benih persatuan dan kebinekaan. Bangsa Indonesia wajib disatukan kembali dengan Pancasila sebagai dasar perekat, berupa penghargaan terhadap minoritas dan penghormatan kepada mayoritas.

Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah mengatakan, hikmah dari kasus Ahok dan aksi damai yakni pemerintah dan Polri harus tunduk pada supremasi hukum sebagai konsekuensi Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (maachstaat). Polri harus mempertimbangkan aspek yuridis sosiologis kebinekaan dan persatuan bangsa dalam menetapkan kasus Ahok setelah dilakukan gelar perkara.

"Produk yang dihasilkan pascagelar perkara jangan malah menimbulkan kegaduhan baru di masyarakat yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan menciptakan kondisi yang disharmonis," kata Ikhsan, Ahad (13/11) malam.

Polri harus menciptakan stabilitas keamanan masyarakat dan merawat semangat kebinekaan. Dia menyebut penistaan agama tidak diatur di dalam KUHP karena pasal 165 KUHP hanya mengatur mengenai ketertiban umum. Unsur mengenai melanggar ketertiban umum dan berakibat menimbulkan kegaduhan akibat pernyataan Ahok sudah sangat jelas terpenuhi.

Penistaan agama dalam berbagai kasus telah diputus dengan menggunakan acuan pendapat keagamaan atau fatwa MUI. Dalam berbagai kasus yang telah diputus pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap (inkraht), pendapat atau fatwa MUI yang selalu dipergunakan untuk acuan melakukan penyidikan oleh Polri.

Fatwa MUI juga digunakan dalam penuntutan oleh jaksa, dan memutuskan perkara di pengadilan oleh hakim. Misalnya, kasus penistaan yang dilakukan Arswendo, Lia Eden, Muzadek, Ghafatar, Tajul Muluk, Ahmadiyah, dan Alkiyadah.

Ikhsan menyebut terminologi penistaan agama ini adalah kompetensi MUI, bukan wilayah tafsir lembaga lain. Penyidik Polri harus mengikuti pendapat dan sikap keagamaan MUI yang telah menyatakan bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap Alquran dan ulama.

"Penyidik tidak boleh menarik-narik ahli dan lembaga lain untuk ikut memberikan makna dan penafsiran, apalagi mendelegitimasi pendapat dan sikap keagamaan MUI tersebut karena itu hanya akan membangkitkan kemarahan umat," kata dia.

Keputusan hasil gelar sangat ditunggu publik dan jangan sampai keputusan tersebut menimbulkan kegaduhan baru di masyarakat dan menciptakan instabilitas sosial. "Karena apabila publik telah kehilangan kepercayaan (distrust) maka Dewi Keadilan itu hukum besi, Soeharto pun yang jauh lebih kuat tumbang oleh people power karena rakyat melihat dan merasakan adanya ketidakadilan," ujar Ikhsan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement