Sabtu 06 Sep 2014 15:01 WIB

Hukum Saham dan Bursa Efek dalam Islam (2)

Layar pergerakan harga saham di sebuah bursa efek di Jakarta.
Foto: Republika/Prayogi/ca
Layar pergerakan harga saham di sebuah bursa efek di Jakarta.

Oleh: Hannan Putra

Namun, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang kategori perilaku ekonomi yang ditempuh melalui lembaga bursa efek ke dalam akad musahamah. Terutama, tentang perbedaan penawaran antara harga saham secara nominal dan harga yang ditawarkan.

Misalnya, saham perusahaan A memiliki harga nominal Rp 1.000, lalu saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga perdana Rp 10 ribu.

Besarnya selisih antara harga nominal dan harga perdana tersebut berkaitan dengan perilaku ekonomi di bursa efek. Dalam menetapkan harga penjualan suatu saham perusahaan, dimasukkan perkiraan laba (deviden) yang akan dibagi, ditambah dengan kepiawaian direksi mengelola perusahaan tersebut.

Semakin baik pengelolaan dan prospek suatu perusahaan, diperkirakan semakin besar laba yang akan diperoleh, sehingga penawaran harga sahamnya di bursa efek semakin besar. Sekalipun, nilai nominal yang tercantum dalam surat saham itu tetap.

Permasalahan bagi ulama terletak pada kelebihan uang dari harga nominal saham tersebut serta kemungkinan melesetnya perkiraan prospek perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat unsur spekulasi yang amat besar.

Unsur spekulasi yang cukup besar bisa terjadi melalui persekongkolan antara underwriter (penjamin emisi) dan perusahaan pemilik saham, sehingga harga saham perusahaan itu bisa dipermainkan.

Bisa juga unsur spekulasi muncul dari sikap sekelompok orang yang memborong saham suatu perusahaan pada saat harganya murah dan menjualnya ketika harga saham itu melonjak. Oleh sebab itu, para ulama mengemukakan berbagai pandangannya tentang hukum jual beli saham di bursa efek.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement