Senin 25 Feb 2019 20:20 WIB

Kamp Vokasi di Xianjiang Diminta Berikan Hak Beribadah

Hasil dari kunjungan MUI akan disampaikan ke pemerintah Indonesia

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, Muhyiddin Junaidi
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, Muhyiddin Junaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama ormas-ormas Islam telah memenuhi undangan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) untuk melihat kamp-kamp vokasi di Xinjiang. MUI meminta RRC memberikan hak masyarakat Muslim melaksanakan ibadah sesuai keyakinan mereka di kamp-kamp vokasi.

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, ormas-ormas Islam yang tergabung di MUI telah melihat, mendengar dan berdiskusi di kamp-kamp vokasi. Setelah mengunjungi kamp-kamp vokasi untuk masyarakat Uighur, MUI bersama ormas-ormas Islam menyatakan sikap.

"Pertama, berterimakasih kepada pengundang, dengan kunjungan tersebut kita bisa mendapatkan informasi lebih komprehensif tentang apa yang terjadi di sana," kata KH Muhyiddin kepada Republika.co.id, Senin (25/2).

Ia menceritakan, lokasi yang diduga sebagai pusat konsentrasi masyarakat Uighur sebetulnya tempat pelatihan kerja atau vokasi. Maka MUI meminta dan berharap agar pemerintah RRC memberikan kesempatan kepada peserta vokasi untuk melaksanakan ibadah seperti sholat, membaca Alquran dan dzikir setelah mereka selesai melakukan pelatihan setiap hari.

Sebab berdasarkan temuan MUI saat berkunjung ke Xinjiang, seseorang bisa dinilai radikal apabila mengamalkan ajaran Islam seperti sholat, membaca Alquran dan dzikir di sela-sela jam kerja. Tapi itulah konstitusi RRC, mereka memisahkan agama dari ruang publik. 

Ia menjelaskan, artinya agama tidak punya tempat di ruang publik. Konstitusi RRC memandang agama sebagai persoalan individu yang dibicarakan di dalam ruangan seperti masjid. Agama tidak diperbolehkan mengatur urusan pemerintah. Pejabat publik pun tidak boleh mengikuti prosesi keagamaan.

"Maka kami minta agar pemerintah RRC mengikutsertakan Cina Islamic Association (CIA) dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan umat Islam, seperti hari libur, Idul Adha, Idul Fitri, makanan halal serta haram dan lain sebagainya," ujarnya. 

Akan tetapi, dikatakan KH Muhyiddin, faktanya CIA diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah RRC. Sehingga MUI memahami hubungan antara pemerintah RRC dengan CIA.

Ia menegaskan, MUI juga mengimbau agar RRC tidak segera memberi label atau menuduh radikal terhadap orang yang berbeda pendapat. Sebab tidak semua orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah adalah orang radikal.

Ia menyampaikan, persoalan RRC memerangi terorisme dan radikalisme, MUI tidak mau ikut campur. MUI memahami setiap negara memiliki masalah. Serta memiliki kebijakan untuk memerangi gerakan separatis, tapi kebijakan tersebut harus dilakukan secara hati-hati.

"Tidak boleh menggeneralisir kelompok tertentu atau memojokkan kelompok tertentu sebagai aliran radikal, sementara kelompok lain tidak, jangan Muslim saja yang dituduh sebagai teroris," jelasnya.

MUI melihat segala kekerasan yang terjadi di RRC seolah-olah pelakunya umat Islam semua, tidak ada non Muslim. Dalam hal ini MUI melihat RRC seperti memojokkan umat Islam sebagai teroris.

KH Muhyiddin menyampaikan, hasil kunjungan MUI bersama ormas-ormas Islam ke Xinjiang akan disampaikan ke internal MUI. Setelah itu akan dilaporkan ke Pemerintah Indonesia.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement