Senin 04 Feb 2019 12:58 WIB

Malaysia Masih Rajai Industri dan Pasar Halal

Malaysia pimpin indikator ekonomi Islam global selama lima tahun berturut-turut.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Dua perempuan sedang memilih cat kuku yang kini diproduksi secara halal oleh beberapa label kosmetik.
Foto: Reuters
Dua perempuan sedang memilih cat kuku yang kini diproduksi secara halal oleh beberapa label kosmetik.

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR – Permintaan produk bersertifikat halal di Malaysia tidak hanya pada sektor makanan dan minuman, tetapi juga sektor perawatan pribadi dan kecantikan terus meningkat. 

Negara di Asia Tenggara ini ingin menjadi pusat halal global. Sebelumnya pada 2017, industri halal lokal menyumbang sekitar 7,5 persen terhadap produk domestik bruto di Malaysia. 

Wakil Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi, dalam pidato pembukaannya di World Halal Week April 2018 lalu mengatakan, Malaysia kembali memimpin indikator ekonomi Islam global untuk tahun kelima berturut-turut.  

"Prospek mengesankan ini mencerminkan ekosistem ekonomi Islam yang kuat, Malaysia menikmati keunggulan substansial dalam keuangan Islam dan makanan halal," kata Datuk Seri Ahmad, dilansir di Arab News, Senin (4/2).  

Ekosistem ekonomi Islam itu meliputi bank untuk menyediakan keuangan Islam, Departemen Kesehatan dan Departemen Pengembangan Islam (Jakim) untuk menetapkan standar sertifikasi halal, dan agen perdagangan seperti Matrade untuk menangani sisi bisnis dan pemasaran.

Selain itu, kosmetik halal harus bebas dari alkohol, darah, dan bagian atau zat dari hewan yang belum disembelih menurut praktik Islam. 

SimplySiti, yang didirikan penyanyi Siti Nurhaliza, menawarkan produk kosmetik, pewangi dan perawatan kulit yang bersertifikat halal. 

Perusahaan-perusahaan arus utama juga ikut serta dalam tren halal, seperti Clara International, Johnson & Johnson, Silky Girl, dan Wipro Unza. Sunsilk juga mengklaim sebagai lini perawatan rambut pertama di Malaysia untuk wanita yang mengenakan jilbab. 

Aksesibilitas terhadap produk halal juga meningkat. Produk tersebut tersedia di rantai supermarket dan toko obat, serta melalui pasar daring seperti PrettySuci dan Aladdin Street. Beberapa produk bahkan mengklaim ramah wudhu, artinya air dapat menembus produk agar mencapai kulit dan membersihkannya. 

Akan tetapi, beberapa perusahaan belum masuk ke pasar. Di samping itu, tidak semua konsumen Muslim mengetahui ketersediaan dan keragaman produk kecantikan dan perawatan pribadi yang halal. 

"Saya tidak benar-benar memeriksa label halal karena di Malaysia saya menganggap semuanya halal," kata Abir Abdul Rahman (30).

Rahman mengatakan, sebagian besar temannya tidak secara aktif memeriksa label halal ketika membeli makeup atau item perawatan kulit. Siti Nurul Hidayah Ishak, seorang pengacara berusia 33 tahun, mengatakan dia mendukung gagasan produk kecantikan halal, tetapi tidak tahu mana yang disertifikasi.

"Saya tidak terlalu memperhatikan apakah suatu produk bersertifikat halal atau tidak. Meskipun demikian, saya memeriksa label untuk memastikan tidak ada bahan non-halal dalam produk yang saya beli," kata Siti Nurul.

Dua pertiga dari populasi Muslim global ada di kawasan Asia Pasifik. Menurut Pew Research, penduduk Muslim di Asia Pasifik masih muda dan memiliki prospek sosial ekonomi yang baik. 

Thomson Reuters memperkirakan konsumen Muslim akan mencapai nilai 73 miliar dolar dari pengeluaran untuk kosmetik pada 2019, atau 8,2 persen dari pengeluaran global.

Di Malaysia, total volume perdagangan untuk produk perawatan pribadi dan kosmetik adalah sekitar 2,24 miliar dolar pada 2015. Setengah dari permintaan itu dipenuhi impor.  

Beberapa konsumen Muslim di Malaysia skeptis tentang kemunculan dan populernya produk kecantikan bersertifikat halal. 

Mohani Niza (31), mengatakan dia lebih memperhatikan tentang produk kosmetiknya yang vegetarian atau yang berlabel 'cruelty free' (produk kosmetik yang tidak menggunakan metode Animal Testing). 

"Saya tidak memiliki keluhan terhadap produk kecantikan halal. Tapi kecurigaan saya adalah bahwa industri kecantikan halal adalah gimmick (tipu muslihat) pemasaran. Ini memainkan ketidaktahuan dan ketidakamanan beberapa Muslim yang mungkin dituntun untuk percaya bahwa produk apapun yang tidak memiliki label halal secara otomatis haram," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement