Senin 28 Jan 2019 21:09 WIB

Membaca Kontroversi Pemulihan Situs Yahudi Di Mesir

Tidak hanya aspek pendanaan, program ini juga memicu sentimen publik.

Rep: Andrian Saputra/ Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Salah satu pemandangan sinagog di Mesir
Foto: AFP
Salah satu pemandangan sinagog di Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Pemulihan situs-situs Yahudi di Mesir menuai kontroversi. Selain karena besarnya dana yang digelontorkan pemerintah Mesir, pemulihan situs-situs Yahudi tersebut dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Pada September 2017, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengalokasikan dana senilai 71 juta dolar AS untuk pemulihan situs-situs Yahudi di negeri Piramida itu. 

Banyak yang menilai langkah tersebut menjadi penting sebagai bagian dari mengakui budaya dan melestarikan peninggalan bersejarah Mesir.  

Namun tak sedikit juga yang berpandangan skeptis dengan mempertanyakan motif lain di balik langkah Pemerintah Mesir menggelontorkan dana untuk pemulihan situs-situs Yahudi.  

Selain itu banyak yang keberatan dengan total dana yang dialokasikan untuk proyek tersebut. Selang sebulan, Kementerian Purbakala Mesir menyatakan bahwa landmark Yahudi di Mesir memiliki prioritas yang sama dengan situs-situs lainnya seperti Firaun, Romawi, Koptik, dan Islam. 

Pada 2018, Kementerian Purbakala Mesir mendaftarkan 500 artefak Yahudi yang dikumpulkan dari beberapa sinagog di Mesir.

Kepala Komunitas Yahudi di Mesir, Magda Haroun, memuji langkah Pemerintah Mesir yang serius dalam melestarikan warisan Yahudi dengan melakukan pencatatan dan pendaftaran artefak-artefak tersebut. 

Di antara artefak yang Yahudi yang didaftarkan itu antara lain lampu gantung, cangkir, serta lilin. Hal itu pun dinilai sangat penting untuk melindungi benda-benda itu dari kerusakan atau bahkan dicuri. 

Haroun berharap proyek tersebut bisa memberi manfaat lebih untuk masyarakat di masa mendatang. Pembicaraan tengah dilakukan  dengan Kementerian Kebudayaan untuk mengubah sinagog Yahudi menjadi pusat budaya. 

“Dan kami berencana untuk bekerjasama dalam memugar kuburan Yahudi. Dulu, kami punya tantangan dengan kurangnya kesadaran akan warisan Yahudi. Namun sekarang tantangan itu menghilang,” kata Haroun seperti dilansir Alarabiya pada Senin (28/1).  

Desember tahun lalu, Haroun bahkan mengundang orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim di Mesir ke Sinagog Sha'ar Hashamayim di Kairo untuk merayakan Hanukkah. 

“Kami punya warisan yang luas, dan sebagai individu saya tak khawatir tentang hak itu. Karena pemuda Mesir akan melestarikannya,” kata Haroun dalam pidatonya di acara tersebut. 

Jurnalis Israel, Ariel Ben Soloman, justru menilai pemulihan warisan Yahudi tersebut lebih cenderung bernuansa politik dibanding budaya. Soloman menggambarkan Presiden Mesir 'beroperasi berdasarkan riil politik’. Dia juga mempertanyakan kerjasama Mesir dengan Israel dalam pertahanan dan intelijen.

Sementara itu, pengamat politik dari Institut Washington, Haisam Hassanein menilai ada tiga motif yang membuat Mesir menaruh perhatian pada warisan Yahudi. 

Pertama yakni untuk meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat. Pemerintah Mesir melihat warga dan organisasi Yahudi Amerika sebagai pintu gerbang bagi para pembuat kebijakan. “Mereka menilainya sebagai bentuk simpati terhadap masalah-masalah Yahudi,” kata Hassanein. 

Kedua, yakni karena alasan pariwisata. Dengan pemulihan situs-situs Yahudi dinilai akan membawa wisatawan Yahudi dari seluruh dunia ke Mesir. 

Ketiga memproyeksikan Mesir sebagai contoh moderasi yang dinilai dapat meningkatkan citra Mesir. Meski tak dimungkiri dana yang dialokasikan untuk pemilihan situs-situs Yahudi itu menjadi persoalan utama yang diperdebatkan. 

Dirjen Studi Arkeologi Sinai dan Delta Kementerian Purbakala Mesir, Abdel Rahim Raihan, mengingatkan pemulihan situs-situs Yahudi tidak boleh dikaitkan dengan politik. Melainkan sebagai cara menjembatani kesenjangan antara budaya dan mencapai hidup berdampingan secara damai. 

“Sinagog adalah museum itu sendiri. Peti suci di masing-masing berisi gulungan Taurat di samping barang-barang khas Yahudi seperti menorah, ”katanya. 

Bahkan Rihan menambahkan harus ada ruang pameran di setiap sinagog seperti halnya dengan Biara Saint Catherine di Semenanjung Sinai. 

Dia juga menyarankan manuskrip yang ditemukan pada 1896 di Sinagoge Ben Ezra dan pada 1987 di pemakaman Yahudi di Kairo, kedua koleksi yang dikenal sebagai Cairo Geniza, harus dipajang di Perpustakaan dan Arsip Nasional Mesir. 

"Para peneliti harus diperbolehkan menggunakan manuskrip untuk melakukan studi pada komunitas yang merupakan bagian integral dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Mesir." tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement