Jumat 14 Dec 2018 07:31 WIB

Jika Konflik Berkecamuk, Lima Kelompok ini Haram Diperangi

Larangan perang terhadap orang sipil sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW.

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Nashih Nashrullah
Tembakan anti-pesawat tempur terlihat di langit Damaskus setelah AS meluncurkan serangan di Suriah, pada Sabtu dini hari (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Tembakan anti-pesawat tempur terlihat di langit Damaskus setelah AS meluncurkan serangan di Suriah, pada Sabtu dini hari (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada dua isu  terbesar dalam hukum perang di Islam. Pertama isu kemanusiaan dalam sebuah konflik dan yang kedua mempertimbangkan langkah-langkah  pragmatis untuk memenangkan perang.  

Secara eksklusif, kepada Harian Republika, beberapa waktu lalu di Jakarta, pakar hukum Islam dari International Committee of the Red Cross Ahmed al-Dawoody mengatakan nilai-nilai kemanusiaan dalam perang tidak hanya dapat ditemukan di literatur klasik Islam. Tapi juga hampir seluruh agama, kebudayaan, dan trandisi di seluruh dunia. 

Menurut dia, kemanusiaan dalam perang juga dapat ditemukan di kebudayaan Cina, Kristen, Yahudi, dan seluruh agama dan kebudayaan di dunia. 

Inti kemanusiaan dalam perang adalah tidak menyerang warga sipil. Menyerang warga sipil artinya sudah melanggar batas-batas kemanusiaan. Siapa yang disebut warga sipil? 

Menurut al-Dawoody mereka yang tidak terlibat dalam perang baik secara langsung maupun tidak langsung. 

"Dalam penelitian saya, saya menemukan Nabi Muhammad telah menunjukan lima kategori warga sipil yang tidak boleh diserang dalam perang," kata al-Dawoody. 

Kategori pertama ialah perempuan, kedua anak-anak, ketiga para ulama, imam atau tokoh agama apa pun yang tidak terlibat dalam perang dan memilih untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing. Kategori keempat mereka yang tidak ikut berperang dan yang kelima al-usafah. 

Al-Dawoody tidak dapat mencarikan pandanan kata yang tepat untuk al-usafah. Masyarakat berbahasa Arab hari ini pun tidak banyak yang mengetahui kata ini. Al-Dawoody pun baru mengetahui kata ini ketika melakukan penelitian untuk doktoralnya. 

Laki-laki asal Mesir yang kini tinggal di Swiss tersebut menjelaskan al-usafah dapat diartikan sebagai orang yang bekerja atau diperkerjaan oleh pihak musuh atau netral di medan perang. Untuk mendapatkan definisi ini al-Dawoody harus menelusuri berbagai risalah dan literatur Islam klasik. 

Dalam literatur-litaratur tersebut dijelaskan contoh al-usafah seperti orang-orang yang diminta untuk mengurus properti musuh. Bisa dipahami rumah tinggal atau ladang. 

Begitu juga orang yang mengurus hewan seperti kuda atau kerbau. Sebab ada kemungkinan orang-orang yang mengurus hewan-hewan di medan perang zaman dulu di serang. Karena kuda kala itu seperti sebuah tank yang dapat digunakan untuk menyerang.  

Al-Dawoody mengatakan para al-usafah ini tidak boleh diserang atau dilukai karena mereka memang tidak terlibat secara langsung dalam perang. 

"Jika Anda tahu salah satu sumber utama hukum Islam adalah qiyas atau artinya anologi, jika Anda menganologikannya bisa dengan logistik, tapi juga para pekerja bantuan sosial," kata al-Dawoody. 

Maka dalam Islam para pekerja sosial di medan perang tidak boleh diserang dan dilukai. Al-Dawoody mengatakan analogi ini juga berlaku untuk para pekerja medis yang tidak terlibat dalam perang. Baik mereka yang bekerja dipihak musuh atau netral. Al-Usafah ini juga dapat dianologikan para media yang bekerja di medan perang. 

Pers atau media yang bekerja di medan perang kerap kali berada di posisi netral. Tapi tidak jarang mereka bergabung dengan salah satu pihak yang bertikai. Meski mereka bergabung dengan musuh para jurnalis dan wartawan ini dalam hukum Islam tidak boleh diserang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement