Kamis 27 Sep 2018 17:14 WIB

Menjadi Muslim Korea

Muslim yang berdarah asli Korsel harus menyeimbangkan antara jati dirinya.

Muslim di Korea melangkah ke;uar dari salah satu masjid di Seoul.
Foto:
Muslim saat shalat di Masjid Sentral Seoul, di Korea Selatan.

Hal itu pula yang dilakukan salah satu Muslim berdarah Korea asli, Imam A Rahman Lee Ju-Hwa. Setelah memeluk Islam pada 1984, sulit bagi dia menolak permintaan temantemannya untuk menghabiskan waktu minum bersama.

Kala itu, teman-temannya tak mengerti agama yang Imam Lee anut dan tetap memaksanya untuk minum. Butuh waktu memahamkan mereka hingga akhirnya mengerti.

Penyanderaan warga Korsel oleh Taliban di Afghanistan pada 2007 lalu menjadi titik kritis bagi Islam di Korsel. Saat kejadian berlangsung, polisi berjaga di depan Masjid Sentral Seoul agar tak jadi sasaran protes dan ancaman bom sebagai reaksi warga atas penyanderaan itu.

Di dekat Masjid Sentral Seoul yang berada di kawasan Itaewon terdapat sebuah jalan yang disebut warga setempat sebagai Jalan Muslim. Jalan menurun ini dipenuhi restoran Timur Tengah dan toko manisan Turki.

Harun Kara adalah salah seorang warga keturunan Turki yang bekerja di sana. Korsel memiliki komunitas warga Turki yang mulai ada saat 15 ribu tentara Turki menginjakkan kaki di Korsel untuk ambil bagian dalam Perang Korea.

Safiya Kang punya cerita sendiri soal ke islamannya. Setelah 10 tahun bekerja sebagai manajer akuntansi di Masjid Sentral Seoul, ia memutuskan menjadi Muslimah pada 2015. Sama seperti kebanyakan orang Korsel lainnya, semula ia pun tak tahu apa-apa soal Islam.

Namun, Safiya penasaran dengan sosok Rasulullah SAW, Allah SWT, dan Islam. Setelah tahu, ia yakin Islam adalah jalan yang benar. Dari sana Safiya mengucap syahadat.

Keluarga Safiya bisa memahami pilihannya. Suami Safiya yang masih memeluk Kristen pun tak keberatan, bahkan menyukai makanan ha lal. Meski demikian, Safiya belum setiap hari ber jilbab.

Alasannya, ia masih belum bisa menerima bila orang-orang memandanginya karena berjilbab. Maka, ia hanya mengenakan jilbab pada acara-acara khusus.

Safiya menemukan kedamaian dalam Islam. Ia pun terus berusaha menyeimbangkan iden titas diri sebagai manusia, wanita, warga Korsel, sekaligus sebagai Muslimah.

Sejujurnya, ia merasa lebih bebas mengakui diri sebagai seorang warga Korsel dibanding Muslimah. Namun, ia juga manusia yang tak bisa berbohong akan perubahan dalam dirinya.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement