Sabtu 22 Sep 2018 17:51 WIB

Hari Perdamaian PBB dan Mirisnya Nasib Muslim Rohingya

PBB menetapkan Hari Perdamaian Internasional 21 September 1981

Muslim Rohingya
Muslim Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sudah menetapkan Hari Perdamaian Internasional pada 21 September sejak 1981. Momentum bersejarah itu disahkan lewat resolusi bernomor 55/282.

Dua dekade setelahnya, PBB bahkan menetapkan periode antikekerasan dan gencatan senjata. Hari ini didedikasikan untuk perdamaian dunia, terutama untuk mengakhiri perang dan kekerasan.

Meski demikian, perdamaian itu sulit terwujud bagi Muslim Rohingya. Satu juta orang mengungsi ke Cox's Bazar karena diusir oleh pemerintah setempat.Ratusan ribu lainnya tertahan di barak pengungsian di Sittwe. Mereka harus menjadi warga yang tidak diakui oleh Pemerintah Myanmar.

Aktivis kemanusiaan Myanmar Muhammad Nashir menjelaskan, perdamaian tidak dirasakan oleh Rohingya.Ratusan ribu orang tertahan di Sittwe. Mereka tidak bisa bergerak, ujar dia saat berbincang dengan Republika.co.id lewat sambungan layanan aplikasi Whatsapp, Rabu (19/9).

Nashir menjelaskan, mereka sulit untuk berobat ketika sakit.Untuk pergi ke rumah sakit yang layak, mereka harus membayar, sementara mereka tidak punya uang karena tidak memiliki mata pencaharian.Mereka pun tidak bi sa sekolah dengan layak. Di pengungsian, hanya ada sebuah sekolah untuk 200 ribu orang Rohingya. Mereka juga dipaksa untuk mengaku menjadi Bengali oleh negara,kata Nashir.

Dia mengungkapkan, hari perdamaian internasional tidak bisa dirayakan oleh Rohingya karena mereka memang berada dalam kondisi tidak damai. Dia pun mendorong komunitas masyarakat internasional untuk peduli terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.

Nashir berterima kasih karena PBB memang mengeluarkan pernyataan keras terhadap Pemerintah Myanmar. PBB memang menekan pemerintah setelah menyatakan, militer Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Muslim Rohingya dengan niat genosida. PBB juga menyatakan bahwa panglima tertinggi dan lima jenderal harus dituntut karena mendalangi kejahatan paling suram di bawah hukum ini.

Nashir pun meminta agar komunitas negara-negara di ASEAN lebih berani bersikap tegas. Adanya tekanan dari ASEAN dinilai akan membuat pemerintah mengevaluasi kebijakan mengenai Rohing ya. Bahkan negara Anda (Indonesia) tidak bisa bersikap.Namun, kami sadar karena setiap negara punya pertimbangan masing-masing, ujar Nashir.

Meski demikian, Nashir menjelaskan, Muslim Rohingya butuh aksi nyata terutama dari PBB.Menurut dia, semua tekanan yang diberikan hingga saat ini masih berupa wacana. Mereka harus bertindak, kata dia.Perdamaian juga belum dirasakan warga Gaza, Palestina. Dua juta warga Gaza diblokade Israel.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement