Selasa 14 Aug 2018 21:00 WIB

Jejak Syiar Islam di Sri Langka

Islam di Sri Lanka tumbuh bersama orang-orang yang diasingkan.

Srilangka
Srilangka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari seratus tahun silam, Sri Lanka atau Ceylon pernah menjadi pulau pembuangan para tahanan politik pemerintah Hindia Belanda. Sri Lanka, yang antara tahun 1640-1796 dikuasai Belanda, merupakan tempat pengasingan kedua setelah Tanjung Harapan.

Mengingat lokasinya lebih dekat dengan nusantara, Sri Lanka lebih disukai Belanda ketimbang Tanjung Harapan, yang tampaknya disediakan untuk tokoh-tokoh "buangan" kelas berat.

Islam di Sri Lanka tumbuh bersama orang-orang "buangan" ini. Secara geografis, Sri Lanka terisolasi dari pusat-pusat utama kebudayaan dan peradaban Muslim. Akan tetapi, dilansir dari Rootsweb Ancestry, Sri Lanka tercatat sebagai pulau tempat pertemuan lintas budaya.

photo
Muslim Sri Langka

KM De Silvas dalam "Historical Survey, Sri Lanka - A Survey" menulis, "Sekitar abad ke-8, orang-orang Arab telah membentuk koloni di berbagai pelabuhan penting di India, Sri Lanka, dan Hindia. Kehadiran orang-orang Arab di pelabuhan Sri Lanka setidaknya dibuktikan oleh tiga prasasti yang ditemukan di Kolombo, Trincomalee, dan Pulau Puliantivu."

Populasi Muslim Sri Lanka berkisar 10 persen dari total 16 juta jiwa. Mereka dominan di pesisir timur dan barat pulau itu. Meski kebanyakan menganut patriarki, sebagian Muslim di bagian timur pulau menelusuri garis keturunan mereka lewat jalur perempuan. Mayoritas menganut Buddha, yang masuk ke pulau itu dari India selama pemerintahan Raja Devanampiya Tissa pada 307-267 SM.

Faktor yang mendukung pertumbuhan komunitas Muslim di Sri Lanka bervariasi. Etnis mayoritas Sri Lanka, Sinhala, tidak tertarik pada perdagangan sehingga bidang ini demikian terbuka lebar untuk umat Islam.

photo
Muslim Sri Langka

Raja Sinhala menganggap permukiman Muslim menguntungkan karena menjalinkan hubungan dengan luar negeri, baik ekonomi maupun politik. Toleransi agama penduduk lokal juga faktor penting yang mengembangkan permukiman Muslim di Sri Lanka.

Permukiman awal komunitas Muslim ini didirikan, terutama di sekitar pelabuhan untuk kepentingan perdagangan. Karena banyak pedagang Arab tidak mungkin membawa kaum hawa mereka, terjadilah perkawinan dengan wanita Sinhala atau Tamil di pulau itu. Islamisasi terjadi lewat jalur perkawinan. Selain itu, Islam juga menarik minat anggota kasta rendah yang kurang beruntung di tengah masyarakat Tamil.

Melayu

Komunitas Muslim di Sri Lanka dibagi menjadi tiga kelompok etnis utama, yaitu Moor, Muslim India, dan Melayu. Masing-masing hidup dengan sejarah dan tradisi sendiri. Sebutan Moor diberikan oleh penguasa kolonial Portugis yang menggunakan kata Moro untuk mengidentifikasi orang Arab pada umumnya.

Moro membentuk hampir 92 persen dari total populasi Muslim di negara itu. Sebagian besar menganut mazhab Syafii. Nenek moyang mereka berasal dari para pedagang Arab yang telah menetap di Sri Lanka antara abad 8-15 M.

photo
Muslim Sri Langka

Menurut Tikiri Abeyasinghe dalam "Portuguese Rule in Ceylon, 1594-1612", pengikut pertama Muhammad di Sri Lanka adalah orang-orang Bani Hasyim yang diusir dari Saudi pada awal abad ke-8 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Muslim Arab tiba di Sri Lanka sekitar abad 7-8, meskipun para pedagang Arab ada yang sudah mengenal Sri Lanka pada masa pra-Islam.

Dalam risalahnya, pelancong Arab termasyhur dari abad ke-14, Ibnu Batutah, mencatat berbagai pengaruh Arab di pulau ini. Kini, bahasa Arab tidak lagi digunakan, tetapi berbagai kosakata dan frasa masih digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Kedatangan Muslim dari India selama abad ke-19-20 turut memberi kontribusi terhadap keberagaman Islam di Sri Lanka. Khususnya, Muslim Pakistan dan India Selatan yang mengenalkan ajaran Syiah dan mazhab Hanafi ke pulau ini. Nenek moyang Muslim India ini berasal dari kalangan imigran yang datang mencari peluang bisnis selama periode kolonial.

photo
Masjid Jamiul Alfar Kolombo, Sri Langka.

Mayoritas dari mereka berasal dari Tamil Nadu dan Kerala. Komunitas Ahmadiyah juga masuk ke Sri Lanka pada 1915. Namun, komunitas Muslim lain menganggap Ahmadiyah sebagai agama non-Muslim yang terpisah. Mayoritas Muslim Sri Lanka tetap Suni.

Tak kalah penting adalah keberadaan komunitas Muslim Melayu. Konon, orang-orang Melayu mulai datang ke Sri Lanka pada abad ke-13 lewat ekspansi seorang raja dari Semenanjung Melayu. Raja bernama Chandra Bhanu ini berkuasa selama 50 tahun di bagian utara Sri Lanka.

Dilansir dari Sri Lanka Heritages, sebagian besar  imigran Melayu awal adalah tentara, yang dikirim pemerintah kolonial Belanda dan memutuskan untuk menetap di pulau itu. Imigran lain adalah kaum eksil dan anggota keluarganya yang diasingkan ke Sri Lanka dan tidak kembali lagi ke tanah air.

Salah satu tokoh Indonesia yang tercatat pernah diasingkan ke pulau seluas 66 ribu km persegi itu adalah Amangkurat III. Sawijineng princes panggedening kaoem pemberontak ing Betawi lan 40 wong kaoeme, dening pemerintah Walanda diboeang ing Ceylon, tulis sumber lokal.

Dikatakan pula oleh Murad Jayah dalam "The Plight of the Ceylon Malays Today", "Pada 1709, Susuhunan Amangkurat Mas, sang raja Jawa, diasingkan ke Sri Lanka oleh Belanda bersama seluruh pengiringnya.

Dia dibuang pada 1723 bersama 44 pangeran Jawa, para bangsawan yang menyerah dalam pertempuran Batavia, serta keluarga mereka. "Keluarga ini membentuk fondasi masyarakat Melayu yang terus tumbuh." Raja bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III atau Sunan Mas ini wafat di Sri Lanka pada 1734.

Selain Amangkurat III, tokoh lain adalah Syekh Yusuf al-Makassari. Ketika perlawanannya di Banten berhasil dipadamkan, Belanda mengasingkan ulama besar ini ke Sri Lanka.

"Kita hanya sedikit sekali mengetahui tentang kehidupan orang-orang buangan sebelum abad ke-18, tetapi tidak disangsikan lagi, al-Makassari merupakan tokoh Melayu Indonesia paling menonjol yang pernah diasingkan Belanda ke Sri Lanka," catat Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII.

Hingga kini, sebagian orang barangkali masih mengenal istilah "disailankan" yang berarti dibuang ke Sailan atau Ceylon. Semenjak bercokol di pulau itu, Belanda terus membawa sekian banyak orang Jawa alias Ja Minissu. Mereka dipekerjakan untuk mengisi jajaran tentara, polisi, pemadam kebakaran, staf penjara, dan pegawai lain.

Muslim Jawa-Malaysia ini memberi kontribusi terhadap populasi Muslim di Sri Lanka. Pada 1980-an, jumlah mereka sekitar lima persen dari total populasi Muslim Sri Lanka. Identitas kelompok ini terjaga lewat penggunaan bahasa Melayu, dengan sejumlah kosakata serapan dari bahasa Sinhala dan dialek lokal Tamil. Menurut Murad Jayah, bahasa Melayu terjaga di negara ini selama lebih dari 250 tahun mengingat orang-orang buangan asal Melayu ini didampingi oleh kaum perempuan.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement