Kamis 19 Jul 2018 17:47 WIB

Kisah Pilu Muslim Champ di Kamboja

Islam pernah menjadi agama mayoritas di Kamboja hingga 1975.

Muslim Champa
Foto: phnompenhpost.com
Muslim Champa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam pernah menjadi agama mayoritas di Kamboja hingga 1975. Saat itu terdapat 150 ribu hingga 200 ribu Muslim etnis Champ yang berasal dari Kerajaan Champa.

Namun pembantaian Khmer Merah terhadap umat Islam membuat mereka terpuruk. Sejak 1980, kekuatan Islam tak dapat lagi bangkit. Khmer Merah menggunakan pola yang konsisten untuk membunuh orang-orang Champ.

Pertama, pembongkaran struktur komunal melalui pembunuhan pemimpin komunitas Muslim Champ, seperti mufti, imam, dan orang berpengaruh lainnya. Kedua, pembongkaran identitas Champ dan identitas Muslim melalui pembatasan kegiatan Champ dan Khmer yang berbeda.

Ketiga, melakukan penyebaran etnis Champ, seperti kerja paksa di ladang atau menangkap mereka karena tuduhan adanya perlawanan atau pemberontakan partai komunis. Tak hanya pemeluk Islam, semua penganut agama, termasuk Buddha, dianiaya sepanjang kekuasaan Khmer Merah.

Saat itu juga, sebanyak 132 masjid dihancurkan dan umat Islam tidak diizinkan beribadah. Mereka juga dipaksa makan daging babi lalu dibunuh jika menolak.

Pada 1979, pemerintahan Khmer Rouge mengatakan negara Champ tidak lagi ada di tanah Kampuchea milik Khmer. Oleh karena itu, kewarganegaraan Champ, bahasa, adat istiadat, dan kepercayaan agamanya harus segera dihapuskan.

Setelah pemerintahan Khmer Merah berakhir, aturan terkait agama dipulihkan. Sebanyak 185 ribu warga Champ tercatat kembali tinggal di Kamboja pada pertengahan 1980. Masjid pun masih ada yang berdiri.

Pada 1988 terdapat enam masjid yang masih berdiri di daerah Phnom Penh dan beberapa masjid di provinsi lain. Namun, pemimpin Muslim tak banyak yang bersisa.

Sejak runtuhnya Rezim Khmer Merah, perlahan geliat Islam kembali menguat. Saat ini umat Islam sudah bebas melaksanakan ibadahnya. Mereka pun dapat merasakan negara yang demokratis.

Pew Research Center memperkirakan pada 2009, sebanyak 1,6 persen populasi Kamboja adalah Muslim atau sekitar 236 ribu orang. Selain Islam, Buddha berkembang di Kamboja hingga memiliki 14 juta umat.

Tidak seperti Cina yang membatasi aktivitas ibadah umat Islam, Kamboja kini justru menjamin kebebasan beribadah. Umat Islam di Kamboja hidup berdampingan dengan umat lain.

Di Desa Croyamontrey, misalnya. Umat Muslim dan umat lain dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Seorang residen Ouk Ros mengatakan, telah tinggal dengan warga Muslim sejak muda. Ketika ada pernikahan, mereka bergabung dalam pesta pernikahan.

Namun belakangan, dia khawatir dengan masuknya donasi dan pengaruh dari luar negeri yang mengalir ke Kamboja. Gelombang ini dikhawatirkan akan memunculkan benih-benih intoleran yang mulai berani menampakkan eksistensi mereka.

Menurut Duta Besar AS Joseph Mussomeli, pada 2008 lalu ada beberapa organisasi di Kamboja yang mengarah radikal dan tidak toleran. Organisasi ini berusaha mengubah wajah damai Muslim di Kamboja. Muslim Kamboja yang dikenal dengan etnis Champ merasa tidak perlu memisahkan diri dan tidak menginginkan tanah air yang terpecah.

Seorang penulis buku populasi Champ di Kamboja, Osman Ysa mengatakan, telah menganggap Kamboja sebagai negara mereka sendiri. Hingga saat ini, umat Islam di Kamboja juga nyatanya aktif dan berpartisipasi dalam politik nasional Kamboja tanpa terkecuali.

Ini karena kamboja memiliki sejarah yang unik dan Islam tetap hidup damai. Bahkan, dahulu Perdana Menteri Hun Sen membangun masjid besar dan menyediakan siaran radio gratis untuk program Muslim. Umat Islam pun mendapatkan posisi politik yang nyata di Kamboja. Sekitar 12 orang menjadi petinggi di partai politik. Sen memiliki penasihat sendiri untuk urusan Muslim.

Meskipun pada 2003 lalu, kepolisian menangkap warga Kamboja yang dicurigai berhubungan dengan Jamaah Islamiyah dan Alqaeda di Asia Selatan. Mereka merasa kekerasan yang dilakukan Alqaeda mengingatkan mereka tentang Khmer merah. Penampilan Alqaeda seperti Khmer Merah. Umat Islam kecewa dengan Alqaeda karena membunuh orang.

Kekhawatiran adanya campur tangan orang luar dalam urusan Islam di Kamboja terkait potensi radikalisme akan menyebar di negara tersebut. Apalagi setelah aliran dana masuk ke Kamboja, Pemerintah lebih ketat  mengawasi organisasi nonpemerintah

Jejak panjang

Etnis Champ pertama kali mengenal Islam adalah saat salah satu ayah mertua Nabi Muhammad, Jahsh, ayah dari Zaynab binti Jahsh, tiba di Semananjung Indocina pada 617 hingga 618 dari Abyssinia, sebuah dinasti yang pernah menguasai Ethiopia, melalui jalur laut.

Etnis Champ Muslim pun memiliki banyak masjid. Pada 1962 saja mereka memiliki 100 unit masjid. Pada akhir abad kesembilan belas, umat Islam Kamboja membentuk komunitas di bawah empat pejabat agama yakni mufti, tuk kalih, raja kalik, dan tvan pake. Di setiap desa wilayah Champ terdapat satu hakim, beberapa katip, bilal, dan labi.

Keempat pejabat tinggi dan hakim dibebaskan dari pajak pribadi dan selalu diundang dalam upacara nasional besar di istana kerajaan. Ketika Kamboja merdeka, komunitas Islam berada di bawah dewan yang beranggotakan lima orang.

Setiap komunitas Islam memiliki hakim yang memimpin masyarakat dan masjid, seorang imam yang memimpin salat, dan seorang bilal yang azan setiap hari. Semenanjung Chroy Changvar merupakan pusat umat Islam di Champ. Banyak pejabat tinggi Muslim tinggal di sana.

Setiap tahun Muslim Champ pergi belajar Alquran ke Kelantan, Malaysia dan melanjutkannya ke Makkah. Di Champ terdapat dua kelompok Muslim besar, Champ Tradisional dan Champ Ortodoks. Muslim Champ Tradisional, selain beribadah sesuai ajaran Islam, mereka masih menjalankan ritual adat mereka. Biasanya, mereka berasal dari pesisir Vietnam.

Mereka terlihat menggunakan pakaian khas putih dan rambut serta wajah mereka dicukur. Mereka pun masih percaya dengan kekuatan sihir. Mereka juga tidak terlalu tertarik menunaikan ibadah haji. Meskipun demikian, mereka selalu merayakan hari besar Islam.

Sementara itu, Muslim Champ Ortodoks memiliki adat campuran karena banyak di antara mereka yang melakukan perkawinan silang dengan Muslim Melayu. Oleh karena itu, budaya Islam mereka telah mengadopsi budaya melayu dan berbicara bahasa melayu.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement