Selasa 17 Jul 2018 23:00 WIB

Larangan Busana dan Nama Muslim di Era Dinasti Ming

Islam datang ke negeri Cina sejak abad ke-7.

Muslim Cina (ilustrasi)
Foto: EPA/How Hwee Young
Muslim Cina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam datang ke negeri Cina sejak abad ke-7. Ketika masuk pertama kali pada zaman Dinasti Tang, pemerintah setempat menghargai dan menghormati para pemeluk Islam. Kaisar pun mendirikan sebuah masjid untuk kaum Muslimin usai berdiplomasi dengan utusan Khalifah Utsman bin Affan.

Namun, Islam merunduk saat Dinasti Ming berkuasa. Tepatnya pada 1382, Kaisar M Zhu Yuanzhang mulai memberlakukan ajaran neokonfosiunis bagi pengangkatan pejabat negara. Dia mewajibkan golongan minoritas non-Han, terutama Mongol dan Muslim Hui, untuk menerapkan kebijakan sinisme agar mengasimilasi mereka menjadi ras Han Cina.

Menurut Dr Syafii Antonio dalam Sejarah Peradaban Islam, Sinisme dilakukan terhadap semua kelompok etnis non-Han di daratan Cina. Dampak kebijakan sinisme ini adalah dikeluarkannya sebuah dekrit pada 1368. Dekrit tersebut melarang pemakaian busana asing, bahasa asing, dan nama-nama asing.

Zhu Yuang beranggapan sejak Dinasti Yuan berkuasa, penguasa-penguasa Yuan telah mengubah semua adat kebiasaan Han dengan tradisi asing. Termasuk pakaian khas Muslimah yang menutup aurat. Umat Islam pun kerap menggunakan bahasa tertentu (Arab) dan menyematkan nama-nama Muslim. Kalangan Muslim awam mengenakan busana tidak formal.

Di pedesaan, warga Muslim Hui yang berusia lebih tua menyukai baju gamis berwarna hitam atau abu-abu. Ketika menuju masjid, para lelakinya mengenakan haomao (tutup kepala), tetapi tidak memakai serban bergaya Muslim. Ada pula yang memakai bianguan, topi tradisional berbentuk kerucut khas Asia Tengah. Bianguanjuga kerap dipakai ketika kaum lelaki menghadiri pernikahan atau pemakaman.

Perempuan Muslim berusia lanjut mengenakan kerudung putih. Sedangkan, wanita paruh baya dan gadis remaja mengenakan kerudung warna hitam dan putih. Kebijakan asimilasi yang diberlakukan Dinasti Ming memaksa mereka mengenakan pakaian seperti yang dipakai orang-orang Han.Mereka yang bekerja sebagai pegawai sipil pun mengenakan jubah-jubah Mandarin berdasarkan jenjang jabatan masing- masing.

Penggunaan nama Muslim oleh para Muslim pun dianggap asing dan dilarang.Dinasti Ming memaksa kaum Muslimin untuk mengubah nama mereka menjadi nama- nama Cina. Meski demikian, Kaisar Hongwu pada masa perkembangan kebijakan sinisme tersebut merasa khawatir pelarangan itu menimbulkan masalah administratif serta dampak politik yang tak diharapkan.

Pemerintah tidak bisa lagi membedakan asal-usul suku bangsa rakyatnya berdasarkan nama mereka.Masalah semakin pelik ketika busana asing dan bahasa asing pun berasimilasi dengan cepat.

Pembedaan antara Han dan non-Han memudar bahkan menghilang sehingga yang timbul adalah kesetaraan. Padahal, Zhu Yuanzhang sangat menghindari itu. Dia pun mulai mengkaji langkah-langkah sinismenya. Pada 1370, Zhu menarik pelarangan penggunaan nama-nama asing.

Dia berdalih demi menjaga hubungan kekeluargaan dan melestarikan budaya nenek moyang keluarga. Sedangkan, nama-nama atau marga asli mencerminkan asal usul nama, keluarga, atau suku. Zhu pun mengeluarkan kebijakan jika siapa pun bisa mengubah dan kembali ke etnis nama asli.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement