REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi Juan, Ramadhan adalah simbol kesimbangan. Pada satu sisi, ia memiliki keyakinan dan menjalani agama yang dianutnya. Di sisi lain, ia juga memiliki Tanah Air, budaya, dan kampung halamannya, yaitu Puerto Rico.
Ia menganyam keduanya menjadi bagian dari identitas diri. Namun, saat Ramadhan batas antara keduanya seakan makin mewujud. Bagi antara 3.500 hingga 5.000 Muslim yang tinggal d Puerto Rico seperti Juan, puasa di bulan suci menangkat ketegangan yang selama ini dialami mereka sehari-hari sebagai warga minoritas.
Dualismenya adalah Muslim yang berada di tengah keluarga Puerto Rico dan dan warga Puerto Rico yang hidup di tengah komunitas Muslim. Ken Chitwood, kandidat doktor di University of Florida menuliskan, sejak 2015 ia melakukan penelitian mengenai Muslim di Amerika Latin. Untuk itu, ia bolak-balik berkunjung ke Puerto Rico dan sejumlah kota di Amerika Serikat yang dihuni banyak Muslim asal Puerto Rico, misalnya di New York, New Jersey, Florida, Chicago, Atlanta, Houston, dan Philadelphia.
Muslim Puerto Rico
Muslim tiba di tanah Puerto Rico sebagai bagian dari pertukaran kolonial transatlantik antara Spanyol dan Portugal serta "Dunia Baru". Ada bukti bahwa Muslim mendarat di negara tersebut bersama para penjelajah pada abad ke-16
. Banyak orang Morisco atau Muslim Iberian, datang ke Karibia dengan melanggar hukum di Spanyol. Spanyol memang melarang mereka datang ke Amerika. Ada pula Muslim yang datang dari Afrika.
Mereka ada yang menjadi pedagang, budak, atau penjelajah dunia baru. Mereka kemudian ikut mewarnai budaya dan sejarah di tanah Amerika. Namun, kini Muslim di Puerto Rico umumnya adalah imigran dari Yordania, palestina, Lebanon, Mesir, dan Suriah.
Puerto Rico
Dalam sejarahnya, banyak pula umat Islam yang beralih ke agama lain. Namun, Chitwood menulis, dalam beberapa tahun terakhir banyak pula generasi muda yang kembali ke agama leluhur mereka, yaitu Islam. Pergulatan identitas antara sebagai Muslim sekaligus orang Puerto Rico menjadi fokus penelitian Chitwood.
Dengan darah Arab yang menga lir dalam tubuh, mereka juga ber hadapan dengan tetangga dan rekan kerja yang menilai Islam seba gai sesuatu yang asing di Puerto Rico. Tidak heran jika mereka berjuang memadukan dua identitas diri mereka.
Mereka berupaya menjadi Boricua "Islamidad", yaitu identitas Muslim Puerto Rico yang unik karena memadukan asimilasi dua budaya. Kini ada sembilan masjid di Puerto Rico, Di setiap masjid, Chitwood menemukan semakin banyak warga Puerto Rico lokal yang masuk Islam. Meski ia tidak menemukan data yang akurat, ia memastikan ada peningkatan jumlah.
Salah satunya adalah Juan, yang ditemui Chitwood pertama kali di San Juan Convention Center, pada 2015. Pria berusia 40 tahunan berdarah Dominika dan Puerto Rica ini mengaku, "Saya mendatangi Islam karena ada pertanyaan: mengenai masyarakat yang sakit dan kesulitan hidup." Ia menemukan, konsep tuhan pada agama leluhurnya terlalu membingungkan. Namun, ia menemukan konsep tauhid lebih sederhana.
Muslimah Puerto Rico tengah shalat berjamaah
Ia juga merasa bahwa israel menyerukan moralitas dan nuansa disiplin diri yang tinggi. Ia akhirnya "kembali" ke pangkuan Islam, sebagaimana para pendahulunya yang berdarah Iberia di Andalusia atau sekarang dikenal sebagai Spanyol. Namun, ia tetap merasa sesuatu yang beda. Meski ia diterima komunitas Muslim, ia tetap merasa terpinggirkan karena latar belakang budayanya.
Pergulatan juga dialami seorang mualaf lain, Abu Livia. Menurutnya, menjadi Muslim kadang membuatkan seperti "didikte" untuk mengenakan sesuatu yang dinilai berciri Islam. "Kadang ada orang yang menyuruh saya mengenakan pakaian tertentu, bahasa tertentu, berpenampilan seperti orang Arab, atau bertindak seperti orang Arab."
Salah satu masjid di Puerto Rico
Muslim Puerto Rico, tulis Chitwood, umumnya menampilkan keyakinan mereka melalui budaya, tradisi keluarga, atau makanan. Juan misalnya. Saat itu, ia baru saja selesai bekerja dan siap berbuka puasa bersama keluarganya di rumah. Hari sangat panas saat itu. Keringat di dahinya seakan menjadi keyakinannya. Langkah kakinya pun berat, seakan seperti mendaki bukit. Semua itu karena Ramadhan yang dijalaninya di tengah iklim Karibia memang tidak ringan. Namun, ia tetap tersenyum dan bersyukur.
Magrib pun tiba. Ia udah menyiapkan semacam pisang goreng. Ketulusannya terhadap budaya dan keyakinannya tidak bisa ditawar. "Jika ada orang mempertanyakan agama saya," ujar Juan, "namun mereka tidak bisa mempertanyakan ketakwaan saya, niat saya, dan ketakutan saya kepada Allah."