Rabu 07 Feb 2018 04:05 WIB
Sunat Perempuan (1)

Toleransi Zero Bagi Sunat Perempuan

6 Februari PBB tetapkan hari internasional penghentian praktik sunat perempuan.

Rep: Siwi Tri Puji B/ Red: Agus Yulianto
Sunat yang ditangani tim medis (ilustrasi)
Foto: Independent
Sunat yang ditangani tim medis (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Didengungkan untuk dihentikan sejak 2003, sunat terhadap perempuan masih dipraktikkan di banyak belahan dunia. Diperkirakan 125 juta anak perempuan dan perempuan di 30 negara di dunia-terbanyak di benua Afrika-memiliki alat kelamin yang dipotong, dikerok, atau dijahit. Berbagai alasan melatarinya, mulai dari mewarisi tradisi leluhur, mencegah pergaulan bebas, menghindari pengucilan sosial, hingga menjalankan perintah agama.

Sejak lama, sunat perempuan menjadi perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap pengumuman sayap lembaga dunia ini yang menangani perempuan dan anak-anak, The United Nations Chil dren's Emergency Fund (Unicef) mengenai sunat perempuan, selalu memicu liputan yang ramai di media massa dunia. Lembaga ini menyebut tradisi sunat pada perempuan ini dengan istilah "mutilasi alat kelamin perempuan".

Dalam laporan PBB disebutkan, praktik sunat perempuan terbanyak dilakukan di Somalia, dimana 98 persen wanita usia 15 - 49 tahun menjalani ritual ini. Guinea, Djibouti, dan Mesir berada pada urutan berikutnya, dimana 90 persen kaum wanitanya melakukan sunat. Dari sisi jumlah, Mesir berada di urutan pertama, dengan sebanyak 27,2 juta wanita menjalaninya, diikuti Ethiopia (23,8 juta), dan Nigeria (19,9 juta).

 

 

Di Asia, Indonesia adalah satu-satunya negara yang disebut dalam laporan PBB terkait sunat perempuan. Dalam laporan itu disebutkan sekitar setengah dari anak perempuan di bawah usia 11 tahun menjalani sunat. Dalam laporan itu disebutkan, prosedur sunat umumnya dilakukan oleh profesional kesehatan.

Namun pada kenyataannya, praktik ini juga dijumpai di beberapa negara Asia lainnya. Sebuah studi kecil tentang Muslim Melayu di Malaysia utara menemukan lebih dari 90 persen perempuan menjalani sunat, dengan 80 persen melakukannya dengan alasan perintah agama. Pada tahun 2009, otoritas keagamaan Malaysia memutuskan bahwa sunat adalah wajib, kecuali jika berbahaya.

Di Brunei Darussalam, sunat perempuan juga merupakan ritual legal. Tidak ada penelitian menyeluruh yang dilakukan, tapi satu peneliti mengatakan hal itu dilakukan pada anak perempuan berusia 40 sampai 60 hari dan melibatkan pengangkatan sejumlah kecil jaringan saja. Di India, sunat perempuan dipraktikkan oleh komunitas Dawoodi Bohra, sekte Muslim Syiah di negara itu. Mereka menyebut praktik ini sebagai khatna. Bohras menganggap khatna sebagai kewajiban agama.

Omong-omong soal penamaan, media internasional memiliki istilah beragam untuk praktik ini. Di Amerika Seri kat, New York Times menggunakan istilah "mutilasi genital wanita" atau "pemotongan" (FGM/C)untuk praktik ini. Sedang The Economist menggunakan istilah "mutilasi alat kelamin perempuan" atau FGM, dan BBC sejak dulu konsisten dengan istilah "sunat perempuan" untuk praktik ini.

Perdebatan tentang kosakata "sunat pada perempuan" di Barat tak pernah menemukan titik pandang sama selama beberapa dekade. Ini bukan hanya dalam ranah akademis. Komentator, praktisi, dan aktivis kerap saling bergumul ten tang kata-kata "mutilasi" (yang kerap dianggap berpotensi menstigmatisasi), "memotong" (yang kadang-kadang tidak akurat), dan "sunat" (analogi yang dianggap keliru).

Menurut Kim Thuy Seelinger, pemimpin Divisi Kekerasan Seksual di Pusat Hak Asasi Manusia, University of California, Berkeley School of Law, tidak ada istilah yang pas untuk menyebut praktik ini dalam istilah Barat. Hal ini dikarenakan praktik ini maknanya sangat bervariasi tergantung suku bangsa dan tempat keberadaannya. Sebagian lagi, karena banyak nama lokal yang dilabelkan dan tak gampang diterjemahkan secara sederhana.

Seelinger menyebut sunat perempuan sebagai analogi yang keliru. Ia merujuk pada sunat yang dilakukan terhadap kaum pria selama ribuan tahun, terutama karena latar belakang agama, dan belakangan berdasar berbagai penelitian, alasan higienitas pria. "Sunat laki-laki sama sekali tidak terkait dengan motivasi, tindakan, atau dampak kesehatan yang terkait dengan perubahan tradisional alat kelamin perempuan seperti yang dilakukan di seluruh Afrika," katanya.

Prosedur sunat yang dilakukan pada wanita muda dan anak perempuan umumnya terdiri dari ablasi bagian atau semua labia bagian dalam dan semua atau sebagian besar klitoris, yaitu jaring an seksual wanita yang paling sensitif. "Hal ini dapat menyebabkan wanita mengalami konsekuensi fisik dan psikologis seumur hidupnya, termasuk hilangnya sensasi genital, pembentukan jaringan parut, dan hasil obstetrik yang merugikan," katanya.

Ia menyatakan, sunat yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan lebih traumatis atau konsekuensial daripada pria. "Kita harus mengklarifikasi sekali lagi bahwa praktik pemotongan organ intim perempuan sama dengan memotong habis seluruh organ intim laki-laki," ujarnya.

***

Apapun istilah yang digunakan, sunat perempuan mengacu pada "semua prosedur yang melibatkan pemindahan eksternal pada alat kelamin perempuan atau cedera pada organ kelamin perempuan lainnya untuk alasan non-medis." Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan sunat perempuan ke dalam empat kategori besar pada tahun 1995 dan disempurnakan lagi pada tahun 2007, meliputi: Tipe I berupa pengangkatan klitoris dan/atau preputium parsial atau total; Tipe II berupa pemisahan klitoris dan labia minora parsial atau total, dengan atau tanpa eksisi labia majora; Tipe III berupa upaya penyempitan lubang vagina dengan cara memotong dan menyatukan labia minora dan/atau labia majora untuk membuat segel, dengan atau tanpa pemotongan klitoris (dalam kebanyakan kasus, tepi terpotong labia dijahit bersama, yang disebut sebagai infibulasi); dan Tipe IV berupa semua prosedur berbahaya lain nya pada alat kelamin wanita untuk tujuan non-medis, misalnya: menusuk, membuat timbul, menggores, dan melakukan operasi lain dengan benda tajam.

Banyak alasan dilakukannya sunat terhadap perempuan, salah satunya adalah untuk mengontrol seksualitas wanita. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, dalam budaya yang berbeda, beberapa kelompok masyarakat percaya bahwa prosedur tersebut mengurangi dorongan seksual wanita, dan dengan demikian menjaga mereka tetap menjadi perawan sampai menikah.

Selain itu, sunat perempuan kerap dijadikan prasyarat untuk menikah. Di tempat-tempat di mana wanita mungkin bergantung secara finansial pada perni kahan, faktor ekonomi bisa menjadi pembenar bagi praktik ini. Faktor agama juga kerap melatari.

 

Sunat perempuan dilakukan baik dalam komunitas Muslim maupun Kristen, juga oleh pengikut beberapa aliran kepercayaan. Meskipun jika dirunut pada dalil yang mendasarinya sangat lemah, doktrin agama sering digunakan untuk membenarkannya.

Sunat perempuan dikutuk oleh sejumlah perjanjian dan konvensi internasional, dan juga oleh undang-undang nasional di banyak negara. Pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan," dan pernyataan ini telah digunakan untuk menyatakan bahwa sunat terhadap perem puan melanggar hak kesehatan dan integritas tubuh.

Selain itu, sunat perempuan juga dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskri minasi terhadap Perempuan mendefinisikannya sebagai bentuk penyiksaan di bawah rubrik Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat. Terlebih lagi, karena sunat perempuan dianggap sebagai praktik tradisional yang merugikan kesehatan anak-anak dan, pada kebanyakan kasus, dilakukan pada anak di bawah umur, hal itu melanggar Konvensi Hak-hak Anak.

Namun, menghapus praktik ini tak segampang membalikkan telapak tangan. Dalam kampanye global melawan mutilasi alat kelamin perempuan, banyak aktivis secara agresif mengutuknya dan menggambarkannya sebagai masalah yang sulit diatasi. Namun antropolog Saida Hodzic justru menyodorkan fakta sebaliknya.

Menurutnya, kegagalan- jika bisa disebut demikian- dari kampanye antisunat perempuan adalah karena pendekatan yang dilakukan terlalu 'dari atas' dan tak menyentuh sisi sosial budaya masyarakat. Penelitian Hodzic, yang dilakukan selama 16 tahun dan dirinci dalam buku barunya, The Twilight of Cutting: African Activism and Life After NGOs, menyebut sejumlah bukti.

Alih-alih iklan dan leaflet antisunat yang banyak disebar yang mengubah sikap masyarat, faktor perubahan sosial budayalah yang lebih banyak berpengaruh. Ia mencontohkan apa yang di amatinya di Ghana. "Dengan lebih banyak perempuan terdidik, pening katan mi grasi tenaga kerja, dan intervensi lembaga swadaya masyarakat, angka praktik sunat perempuan kian menurun," katanya.

***

LEMBAR FAKTA

* Secara global, diperkirakan setidaknya 200 juta anak perempuan dan perempuan pernah mengalami pemotongan pada alat kelaminnya.

* Sebanyak 44 juta pelaku sunat perempuan berudia di bawah 15 tahun dengan prevalensi tertinggi di antara usia ini di Gambia sebanyak 56 persen dan Mauritania 54 persen.

* Negara dengan prevalensi tertinggi di antara anak perempuan dan perempuan berusia 15 sampai 49 tahun adalah Somalia 98 persen, Guinea 97 persen, dan Djibouti 93 persen.

* Indonesia masuk dalam sorotan untuk praktik sunat perempuan di bawah usia 15 tahun. Di beberapa wilayah, sunat perempuan dilakukan saat mereka masih bayi.

* Sunat pada perempuan kerap menyebabkan pendarahan hebat dan masalah kesehatan termasuk kista, infeksi, infertilitas, serta komplikasi pada persalinan dengan mening katkan risiko kematian bayi baru lahir.

* Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2015 menyerukan diakhirinya praktik sunat perempuan pada tahun 2030 di bawah Sasaran Nomor 5 tentang Kesetaraan Gender, Sasaran 5.3 tentang menghilangkan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan anak, perkawinan dini dan paksa, dan mutilasi alat kelamin perempuan.

* Penghapusan sunat perempuan telah diminta oleh banyak organisasi antarpemerintah, termasuk Uni Afrika, Uni Eropa, dan Organisasi Kerjasama Islam, serta dalam tiga resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sumber: Unicef.org

6 FEBRUARI HARI INTERNASIONAL TOLERANSI NOL TERHADAP MUTILASI GENITAL PADA PEREMPUAN

LEBIH DARI 125 JUTA

Wanita di seluruh dunia mengalami penyunatan pada organ vitalnya

LEBIH DARI 3 JUTA

Anak Perempuan berisiko mengalami penyunatan alat kelaminnya di benua Afrika

LEBIH DARI 28 JUTA

Lebih dari 28 juta Wanita di Nigeria yang menjalani sunat jumlahnya seperempat dari jumlah seluruh wanita di dunia yang disunat

Sunat pada perempuan menyebabkan sejumlah pendarahan yang kadang hebat dan sejumlah problem kesehatan termasuk kista, infeksi, ketidaksuburan dan kompikasi selama persalinan termasuk risiko kematian bagi bayi yang baru lahir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement