Kamis 20 Oct 2022 07:30 WIB

Sidang Gugatan UU Perkawinan, Ahli dari MUI: Larangan Nikah Beda Agama Justru Lindungi HAM

UU Perkawinan Tahun 1974 digugat terkait larangan nikah beda agama

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pernikahan beda agama. UU Perkawinan Tahun 1974 digugat terkait larangan nikah beda agama
Foto: Pixabay
Ilustrasi pernikahan beda agama. UU Perkawinan Tahun 1974 digugat terkait larangan nikah beda agama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan pada Rabu (19/10/2022). Sidang permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan E Ramos Petege yang merupakan pemeluk agama Katolik hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku pihak terkait, Prof Atip Latipulhayat mengatakan hukum perkawinan dalam suatu negara berbeda dengan satu negara lainnya karena disesuaikan dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama. Oleh karenanya, pada tataran inilah praktik dari partikularisme hak asasi manusia (HAM) bekerja.  

Baca Juga

Sebagai contoh, Atip mengilustrasikan kasus yang diadili Mahkamah HAM Eropa yaitu Schalk and Kopf yang merupakan pasangan sesama jenis di Austria yang menuntut perkawinannya diakui secara hukum di Austria. Mahkamah Austria pada putusannya menolak tuntutan tersebut dengan menerapkan wide margin of appreciation. 

"Pertimbangannya, masyarakat Austria masih memegang teguh nilai-nilai Kristiani yang melarang perkawinan sejenis," kata Atip dalam risalah sidang, Rabu (19/10/2022). 

Contoh lain yang berbeda konteks yakni kasus-kasus perkawinan sejenis yang diajukan warga negara Belanda sebelum adanya legalitas perkawinan sejenis.

Pemerintah Belanda, lanjut Atip, dalam praktik telah menerima dengan baik pengakuan terhadap perkawinan sesama jenis dan telah pula memberikan pengakuan hukum terhadap perkawinan sesama jenis tersebut. 

Berdasar dua contoh kasus tersebut, sambung Atip, disimpulkan pengakuan hukum kaum LGBT termasuk pengakuan atas perkawinan sejenis sepenuhnya keputusan masing-masing negara. 

"Dengan arti kata, doktrin margin of appreciation sejatinya didesain untuk memberikan kelenturan dalam menyelesaikan konflik atau perbedaan dalam penerapan HAM akibat keragaman sosial, politik, kultur, dan budaya hukum di antara negara-negara Eropa," ujar Atip. 

Baca juga: Mualaf Sujiman, Pembenci Adzan dan Muslim yang Diperlihatkan Alam Kematian 

Atip menegaskan universalisme HAM hanya ada pada tataran nilai dalam praktik di Eropa. Sedangkan pada tataran praktik, menurutnya HAM sangat memperhatikan nilai-nilai partikular. 

"Bercermin dari praktik Eropa yang menjadikan margin of appreciation sebagai batasan terhadap klaim universalisme HAM, maka hal ini memberikan pesan kuat tentang pemaksaaan klaim universalisme HAM yang mensubordinatkan nilai-nilai partikular justru sangat potensial untuk melahirkan pelanggaran HAM baru atas nama universalisme HAM," terang Atip.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement