Jumat 22 Apr 2022 04:20 WIB

Jejak Toleransi Beragama di Tanjungpinang Terlacak Sejak Era Kolonial

Warga etnik Melayu, Jawa, Bugis, dan China hidup berbaur di Tanjungpinang.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Reiny Dwinanda
Toleransi antarumat beragama (ilustrasi). Berbagai etnik dengan agama berbeda hidup berbaur di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, sejak era Hinda Belanda.
Foto: Republika/Prayogi
Toleransi antarumat beragama (ilustrasi). Berbagai etnik dengan agama berbeda hidup berbaur di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, sejak era Hinda Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Rumah Moderasi Beragama STAIN Sultan Abdulrahman Kepulauan Riau, Zulfa Hudhiyani, mengungkapkan, terdapat jejak sejarah toleransi antarumat beragama perwujudan dari moderasi beragama di Tanjungpinang sejak era pemerintahan Hindia Belanda. Sebagaimana diketahui, penduduk Tanjungpinang didominasi oleh etnik Melayu yang dianggap penduduk asli dan dominan.

"Selain itu terdapat juga etnik Bugis dan China yang sudah ratusan tahun berbaur dengan etnik Melayu sejak zaman Kesultanan Johor Riau Lingga," kata Zulfa saat Focus Group Discussion Keberagaman di Tanah Melayu yang diselenggarakan El-Bukhari Institute, Kamis (21/4/2022).

Baca Juga

Zulfa menjelaskan, etnik lainnya, seperti Jawa, Minangkabau, dan Batak datang belakangan ke Tanjungpinang. Orang Jawa mulai ramai datang ke Tanjungpinang tahun 1960-an.

Etnik Bugis awalnya ramai mendiami Kampung Bugis, sedangkan orang China mendiami Senggarang dan kawasan Pasar Tanjungpinang dan orang Jawa awalnya bermukim di Kampung Jawa. Dalam perkembangannya, tiap etnik menyebar ke sejumlah kawasan di Kota Tanjungpinang.

 

Kedatangan orang dari China secara besar-besaran ke Pulau Bintan terjadi sejak dibukanya perkebunan gambir dan lada tahun 1740-an di zaman Daeng Celak menjadi Yang Dipertuan Muda Riau. Ini menjadi bukti bahwa orang Melayu dan Bugis yang menjadi pemilik kebun gambir dan lada di Pulau Bintan terbuka menerima kedatangan etnik berbeda yang notabene juga berbeda agama.

"Ini (salah satu) bukti sejarah penerapan moderasi beragama ada di Tanjungpinang," ujar peneliti yang fokus pada riset ekspresi moderasi beragama di wilayah Sumatra ini.

Zulfa mengungkapkan, pada tahun 1741, Gubernur Belanda di Melaka melaporkan tentang Sultan Johor Lingga yang namanya Sulaiman Badrul Alamsyah menyambut kedatangan secara besar-besaran orang China dari Pulau Jawa ke Pulau Bintan. Dalam perkembangannya, etnik China menjadi etnik utama selain etnik Melayu di Tanjungpinang.

Pada tahun 1852, dalam daerah Government Hindia-Belanda di Tanjungpinang terdapat 1.165 jiwa orang China yang berusia 12 tahun ke atas. Mereka berasal dari etnik yang berbeda, yakni Teochew dan Hokkien.

Zulfa menjelaskan, etnik Teochew dan Hokkien awalnya saling bermusuhan di Tanjungpinang. Orang Teochew menempati daerah Senggarang, sementara orang Hokkien menempati wilayah Tanjungpinang.

"Kemudian Kapitan Tan Hoo berhasil mendamaikan kedua kelompok ini sehingga orang China di Tanjungpinang hidup rukun dan semakin berpengaruh. Ini bukti sejarah kedua penerapan moderasi beragama di Tanjungpinang," jelas Zulfa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement