Rabu 01 Sep 2021 09:26 WIB

Arab Saudi Larang Buku Ekstremisme di Masjid

Perintah tersebut tampaknya merupakan bagian dari perombakan institusi keagamaan.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Arab Saudi Larang Buku Ekstremisme di Masjid. Sejumlah umat Muslim saat akan melaksanakan Shalat Jumat di masjid Al-Jaffali, Jeddah, Arab Saudi.
Foto: AP/Amr Nabil
Arab Saudi Larang Buku Ekstremisme di Masjid. Sejumlah umat Muslim saat akan melaksanakan Shalat Jumat di masjid Al-Jaffali, Jeddah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pihak berwenang Arab Saudi menyerukan agar literatur ekstremis dikeluarkan dari perpustakaan masjid-masjid di Kerajaan. Arab Saudi juga melarang khutbah kepada non-Muslim tanpa izin.

Menteri Urusan Islam Sheikh Abdullatif Al-Sheikh mengeluarkan arahan ke masjid-masjid di seluruh Kerajaan. Dia memerintahkan mereka untuk meninjau buku-buku di perpustakaan masjid yang menyerukan ekstremisme dan keberpihakan. Apabila mendapati buku-buku beraliran ekstrem harus segera mengosongkannya dari rak perpustakaan. 

Baca Juga

Lima surat edaran kepada pejabat masjid dan imam juga melarang dakwah yang mendorong non-Muslim untuk masuk Islam tanpa izin dari kementerian. Surat tersebut juga memperingatkan setiap pelanggar akan dihukum.

"Menteri menyoroti pentingnya perpustakaan masjid sebagai gudang intelektual dan inkubator bagi para intelektual dan mereka yang mencari pengetahuan seperti peneliti dan mahasiswa,” tulis laporan itu dilansir dari Al Araby, Rabu (1/8).

"Menteri mengarahkan para pejabat untuk meninjau perpustakaan-perpustakaan ini dan memberi mereka makan dengan apa yang berguna dan bermanfaat dan untuk menghapus buku-buku yang menyerukan ekstremisme dan keberpihakan dan topik serupa," tulis laporan itu.

Arahan juga memerintahkan pejabat masjid untuk memberikan laporan rutin kepada pihak berwenang tentang kegiatan masjid. Pekerja masjid telah diberitahu untuk menyusun daftar literatur yang disimpan di perpustakaan mereka dan tidak menambahkan buku lagi ke koleksi mereka tanpa izin dari pihak berwenang.

Imam dan pengkhutbah juga didorong mengambil bagian dalam kursus keamanan intelektual yang dijalankan oleh kementerian dan mengambil bagian dalam konferensi dan acara yang diselenggarakan oleh pihak berwenang. 

Laporan itu menambahkan menteri menginstruksikan para pengkhutbah masjid untuk menjelaskan kepada umat beriman tentang keyakinan yang benar dan hukum syariah, menggarisbawahi perlunya mengamati perilaku dan moral yang baik, serta mematuhi kewarganegaraan yang baik, mendengarkan dan mematuhi para penguasa, dan menjauh dari membicarakan masalah-masalah fikih yang di dalamnya terdapat perbedaan pandangan para ulama, (karena) hal ini akan menimbulkan rasa malu dan kebingungan.

Selain itu, juga memberikan perintah tambahan tentang protokol kegiatan sholat dan dakwah di masjid. “Setiap kegiatan dakwah hanya boleh dilaksanakan setelah sholat wajib dan selesai sholat  jenazah, dan tidak boleh ada kegiatan dakwah di antara adzan pertama dan adzan kedua (iqamah), dan dengan demikian menyebabkan penundaan waktu yang ditetapkan oleh kementerian untuk mengadakan iqamah," tambah laporan itu

Perintah tersebut, tampaknya merupakan bagian dari perombakan institusi keagamaan dan masjid di Arab Saudi, beberapa di antaranya telah dikaitkan dengan interpretasi radikal terhadap Islam. Citra Arab Saudi sebagai pengekspor ekstremisme muncul setelah munculnya kelompok radikal di seluruh dunia, beberapa terkait dengan Salafisme - aliran Muslim yang diikuti oleh kepemimpinan Saudi.

Beberapa pangeran dan pemimpin bisnis Saudi di masa lalu telah memberikan dukungan kepada kelompok kuat yang diilhami Salafi, termasuk Taliban. Di bawah Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, pihak berwenang berusaha menjauhkan diri dari interpretasi radikal Islam dan kelompok ekstremis.

Mesir juga memerintahkan masjid-masjid di negaranya pada pekan ini untuk menghapus literatur ekstremis dan buku-buku yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin. Kedua negara telah berusaha membasmi pendukung Ikhwanul Muslimin setelah revolusi pro-demokrasi Musim Semi Arab pada 2011. Mesir juga telah memenjarakan ribuan orang yang terkait dengan Ikhwanul dan aktivis pro-demokrasi lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement